Loading Website

Partai Pimpinan Prabowo Subianto Ajukan Caleg Mantan Koruptor Paling Banyak

Enam caleg hal yang demikian, terdiri dari tiga orang caleg DPRD Provinsi, dan tiga orang caleg DPRD Kabupaten Kota.

Tiga caleg mantan koruptor DPRD Provinsi itu antara lain:

1. Mohamad Taufik dari Dapil DKI 3

2. Herry Jones Kere dari Dapil Sulawesi Utara

3. Husen Kausaha dari Dapil Maluku Utara.

Sementara tiga caleg mantan koruptor lainnya dari DPRD Kabupaten/Kota ialah:

1. Alhajad Syahyan dari Dapil Tanggamus

2. Ferizal dari Dapil Belitung Timur

3. Mirhammuddin dari Dapil Belitung Timur.

Diajukannya enam caleg mantan koruptor dari Partai Gerindra menciptakan partai pimpinan Prabowo Subianto itu sebagai partai politik peserta Pemilu 2019 yang paling banyak mengajukan caleg eks napi korupsi.

Sementara itu, berdasarkan data KPU, sempurna ada 38 caleg mantan koruptor.

Jumlah hal yang demikian terdiri dari 12 caleg DPRD Provinsi dan 26 caleg DPRD Kabupaten/Kota.

KPU baru saja memastikan 7.968 calon legislatif (caleg) DPR RI.

Jumlah hal yang demikian, terdiri dari 4774 caleg laki-laki dan 3.194 caleg perempuan.

Berbarengan dengan itu, KPU juga memutuskan pasangan Joko Widodo-Ma\'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno sebagai pasangan calon presiden yang bersaing dalam Pemilu Presiden 2019. (Fitria Chusna Farisa)

Alasan konsisten usung caleg koruptor

Koordinator Komite Pemilih (Tepi) Jeirry Sumampouw memprediksi bahwa sebagian calon member legislatif ( caleg) mantan koruptor dipertahankan partai politik sebab bisa berperan sebagai \"magnet bunyi\".

\"Ada juga di antara mereka, orang-orang yang memang populer atau kemungkinan diterima masyarakat sehingga dapat menjadi vote getter,\" tutur Jeirry, Kamis (20/9/2018).

Sebab itu ialah salah satu alasan yang melatarbelakangi partai politik untuk konsisten mengusung caleg mantan koruptor, padahal parpol sudah menandatangani pakta integritas.

Jeirry mengucapkan, unsur kedua yang memengaruhi ialah para caleg eks terpidana korupsi itu bisa mendonasi secara finansial terhadap partai.

\"Kedua, aku kaprah ada di antara mereka yang secara ekonomi bagus sehingga mungkin dapat menolong partai untuk menerima bunyi dalam pemilu nanti dengan kecakapan ekonominya,\" ungkap ia.

Terakhir, dia mengukur bahwa keputusan itu diambil partai demi mencegah perselisihan internal, karena sebagian dari mereka mengontrol posisi penting dalam partai.

\"Jadi jikalau ia pengurus, apalagi ketua partai di tingkat provinsi atau kabupaten memang jadi agak susah bagi partai untuk mengeluarkan orang ini,\" ujar Jeirry.

\"Mungkin memang meminimalisasi perselisihan di internal partai sebab tadi sebagian orang itu masuk sebagai pengurus partai,\" lanjutnya.

Kombinasi ketiganya membikin partai terkesan tak acuh pada kemauan publik untuk mempunyai wakil rakyat yang bersih dari tindak korupsi.

\"Ia alesan di atas tadi sehingga ia menaklukkan, artinya partai tak terlalu peduli lagi, pokoknya masuk saja orang-orang ini nanti pertarungan akan terjadi di lapangan,\" tutur ia.

Oleh karena itu, publik perlu menghukum bagus caleg serta partai pengusungnya.

Berdasarkan mengukur parpol hal yang demikian sudah gagal berkontribusi pada janji pemberantasan korupsi.

\"Jadi memang punishment itu juga semestinya diberi terhadap partai, tak cuma terhadap caleg, sebab janji partai kepada pemberantasan korupsi dan mendengar aspirasi masyarakat tak ada sama sekali,\" sebut Jeirry.

Koordinator Komite Pemilih (Tepi) Jeirry Sumampouw mengaku kebingungan atas opsi partai politik yang konsisten mengusung mantan koruptor sebagai calon member legislatif (caleg) pada Pemiu 2019.

Alat ia, keputusan hal yang demikian bisa berimbas negatif pada perolehan bunyi partai.

\"Di kalangan masyarakat sipil, aku kaprah ada resistensi kepada eks koruptor.

Opini seperti ini telah kita lihat,\" kata Jeirry terhadap Wajib.com, Kamis (20/9/2018).

\"Berdasarkan ini memiliki efek elektoral negatif kepada partai, tapi kita juga agak keder mengapa partai tak mengamati itu,\" lanjut ia.

Kompas Jeirry, ada elemen mengambil profit dari keputusan partai konsisten mengusung caleg eks terpidana korupsi.

\"Mungkin bunyi, ada juga sebab ada orang-orang yang secara ekonomi kuat, trennya juga bagus,\" kata Jeirry.

Tertib lainnya, berdasarkan Jeirry, partai mungkin kuatir akan timbul perselisihan internal kalau caleg mantan koruptor dicoret.

Putusan MA

Seperti diinformasikan sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) sudah memutus uji materi Pasal 4 Ayat (3) Lazim Komisi Pemilihan Anggota (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 seputar perihal Pencalonan Beberapa DPR dan DPRD Kabupaten/kota kepada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 seputar Pemilu (UU Pemilu) pada Kamis (13/9/2018) lalu.

Dalam putusannya, MA mengungkapkan bahwa larangan eks narapidana kasus korupsi menjadi calon member legislatif (caleg) bertentangan dengan UU Pemilu.

Putusan hal yang demikian berimbas pada berubahnya status tak memenuhi prasyarat (TMS) bakal caleg napi korupsi menjadi memenuhi persyaratan (MS).

Artinya, eks napi korupsi diperkenankan untuk maju sebagai caleg.

Melainkan parpol konsisten tak akan mengusung caleg mantan koruptor sedangkan dibiarkan UU.

, ada pula parpol yang konsisten mencalonkan mereka sebagai calon wakil rakyat.

Parpol yang mengucapkan akan konsisten mengusung caleg eks napi korupsi terdiri dari, Partai Golkar, Partai Demokrat, dan Partai Gerindra.

Partai Pimpinan Prabowo Subianto Ajukan Caleg Mantan Koruptor Paling Banyak

Enam caleg hal yang demikian, terdiri dari tiga orang caleg DPRD Provinsi, dan tiga orang caleg DPRD Kabupaten Kota.

Tiga caleg mantan koruptor DPRD Provinsi itu antara lain:

1. Mohamad Taufik dari Dapil DKI 3

2. Herry Jones Kere dari Dapil Sulawesi Utara

3. Husen Kausaha dari Dapil Maluku Utara.

Sementara tiga caleg mantan koruptor lainnya dari DPRD Kabupaten/Kota adalah:

1. Alhajad Syahyan dari Dapil Tanggamus

2. Ferizal dari Dapil Belitung Timur

3. Mirhammuddin dari Dapil Belitung Timur.

Diajukannya enam caleg mantan koruptor dari Partai Gerindra mewujudkan partai pimpinan Prabowo Subianto itu sebagai partai politik peserta Pemilu 2019 yang paling banyak mengajukan caleg eks napi korupsi.

Sementara itu, berdasarkan data KPU, sempurna ada 38 caleg mantan koruptor.

Jumlah hal yang demikian terdiri dari 12 caleg DPRD Provinsi dan 26 caleg DPRD Kabupaten/Kota.

KPU baru saja memutuskan 7.968 calon legislatif (caleg) DPR RI.

Jumlah hal yang demikian, terdiri dari 4774 caleg laki-laki dan 3.194 caleg perempuan.

Beriringan dengan itu, KPU juga mempertimbangkan pasangan Joko Widodo-Ma\'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno sebagai pasangan calon presiden yang bersaing dalam Pemilu Presiden 2019. (Fitria Chusna Farisa)

Alasan konsisten usung caleg koruptor

Koordinator Komite Pemilih (Tepi) Jeirry Sumampouw memprediksi bahwa sebagian calon member legislatif ( caleg) mantan koruptor dipertahankan partai politik sebab bisa berperan sebagai \"magnet bunyi\".

\"Ada juga di antara mereka, orang-orang yang memang populer atau kemungkinan diterima masyarakat sehingga dapat menjadi vote getter,\" tutur Jeirry, Kamis (20/9/2018).

Karena itu yakni salah satu alasan yang melatarbelakangi partai politik untuk konsisten mengusung caleg mantan koruptor, padahal parpol sudah menandatangani pakta integritas.

Jeirry menyuarakan, unsur kedua yang memengaruhi yakni para caleg eks terpidana korupsi itu bisa mendonasi secara finansial terhadap partai.

\"Kedua, aku kaprah ada di antara mereka yang secara ekonomi bagus sehingga mungkin dapat menolong partai untuk menerima bunyi dalam pemilu nanti dengan kesanggupan ekonominya,\" ungkap ia.

Terakhir, dia mengevaluasi bahwa keputusan itu diambil partai demi mencegah perselisihan internal, karena sebagian dari mereka mengendalikan posisi penting dalam partai.

\"Jadi sekiranya ia pengurus, apalagi ketua partai di tingkat provinsi atau kabupaten memang jadi agak susah bagi partai untuk mengeluarkan orang ini,\" ujar Jeirry.

\"Mungkin memang meminimalisasi perselisihan di internal partai sebab tadi sebagian orang itu masuk sebagai pengurus partai,\" lanjutnya.

Kombinasi ketiganya membikin partai terkesan tak acuh pada kemauan publik untuk mempunyai wakil rakyat yang bersih dari tindak korupsi.

\"Ia alesan di atas tadi sehingga ia menaklukkan, artinya partai tak terlalu peduli lagi, pokoknya masuk saja orang-orang ini nanti pertarungan akan terjadi di lapangan,\" tutur ia.

Oleh karena itu, publik perlu menghukum bagus caleg serta partai pengusungnya.

Menurut mengukur parpol hal yang demikian sudah gagal berkontribusi pada janji pemberantasan korupsi.

\"Jadi memang punishment itu juga seharusnya diberi terhadap partai, tak cuma terhadap caleg, sebab janji partai kepada pemberantasan korupsi dan mendengar aspirasi masyarakat tak ada sama sekali,\" sebut Jeirry.

Koordinator Komite Pemilih (Tepi) Jeirry Sumampouw mengaku keder atas opsi partai politik yang konsisten mengusung mantan koruptor sebagai calon member legislatif (caleg) pada Pemiu 2019.

Kompas ia, keputusan hal yang demikian bisa berpengaruh negatif pada perolehan bunyi partai.

\"Di kalangan masyarakat sipil, aku kaprah ada resistensi kepada eks koruptor.

Opini seperti ini telah kita lihat,\" kata Jeirry terhadap Mesti.com, Kamis (20/9/2018).

\"Menurut ini memiliki efek elektoral negatif kepada partai, tapi kita juga agak linglung mengapa partai tak mengamati itu,\" lanjut ia.

Kompas Jeirry, ada unsur mengambil profit dari keputusan partai konsisten mengusung caleg eks terpidana korupsi.

\"Mungkin bunyi, ada juga sebab ada orang-orang yang secara ekonomi kuat, trennya juga bagus,\" kata Jeirry.

Tertib lainnya, berdasarkan Jeirry, partai mungkin kuatir akan timbul perselisihan internal sekiranya caleg mantan koruptor dicoret.

Putusan MA

Seperti dikabarkan sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) sudah memutus uji materi Pasal 4 Ayat (3) Umum Komisi Pemilihan Member (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 perihal seputar Pencalonan Sebagian DPR dan DPRD Kabupaten/kota kepada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 perihal Pemilu (UU Pemilu) pada Kamis (13/9/2018) lalu.

Dalam putusannya, MA mengucapkan bahwa larangan eks narapidana kasus korupsi menjadi calon member legislatif (caleg) bertentangan dengan UU Pemilu.

Putusan hal yang demikian berpengaruh pada berubahnya status tak memenuhi prasyarat (TMS) bakal caleg napi korupsi menjadi memenuhi persyaratan (MS).

Artinya, eks napi korupsi dibolehkan untuk maju sebagai caleg.

Namun parpol konsisten tak akan mengusung caleg mantan koruptor meskipun diperkenankan UU.

, ada pula parpol yang konsisten mencalonkan mereka sebagai calon wakil rakyat.

Parpol yang menyuarakan akan konsisten mengusung caleg eks napi korupsi terdiri dari, Partai Golkar, Partai Demokrat, dan Partai Gerindra.

Partai Pimpinan Prabowo Subianto Ajukan Caleg Mantan Koruptor Paling Banyak

Enam caleg hal yang demikian, terdiri dari tiga orang caleg DPRD Provinsi, dan tiga orang caleg DPRD Kabupaten Kota.

Tiga caleg mantan koruptor DPRD Provinsi itu antara lain:

1. Mohamad Taufik dari Dapil DKI 3

2. Herry Jones Kere dari Dapil Sulawesi Utara

3. Husen Kausaha dari Dapil Maluku Utara.

Sementara tiga caleg mantan koruptor lainnya dari DPRD Kabupaten/Kota merupakan:

1. Alhajad Syahyan dari Dapil Tanggamus

2. Ferizal dari Dapil Belitung Timur

3. Mirhammuddin dari Dapil Belitung Timur.

Diajukannya enam caleg mantan koruptor dari Partai Gerindra menciptakan partai pimpinan Prabowo Subianto itu sebagai partai politik peserta Pemilu 2019 yang paling banyak mengajukan caleg eks napi korupsi.

Sementara itu, berdasarkan data KPU, sempurna ada 38 caleg mantan koruptor.

Jumlah hal yang demikian terdiri dari 12 caleg DPRD Provinsi dan 26 caleg DPRD Kabupaten/Kota.

KPU baru saja memastikan 7.968 calon legislatif (caleg) DPR RI.

Jumlah hal yang demikian, terdiri dari 4774 caleg laki-laki dan 3.194 caleg perempuan.

Beriringan dengan itu, KPU juga memastikan pasangan Joko Widodo-Ma\'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno sebagai pasangan calon presiden yang bersaing dalam Pemilu Presiden 2019. (Fitria Chusna Farisa)

Alasan konsisten usung caleg koruptor

Koordinator Komite Pemilih (Tepi) Jeirry Sumampouw memprediksi bahwa sebagian calon member legislatif ( caleg) mantan koruptor dipertahankan partai politik sebab bisa berperan sebagai \"magnet bunyi\".

\"Ada juga di antara mereka, orang-orang yang memang populer atau kemungkinan diterima masyarakat sehingga dapat menjadi vote getter,\" tutur Jeirry, Kamis (20/9/2018).

Sebab itu adalah salah satu alasan yang melatarbelakangi partai politik untuk konsisten mengusung caleg mantan koruptor, sedangkan parpol sudah menandatangani pakta integritas.

Jeirry menyatakan, elemen kedua yang memengaruhi merupakan para caleg eks terpidana korupsi itu bisa mendonasi secara finansial terhadap partai.

\"Kedua, aku kaprah ada di antara mereka yang secara ekonomi bagus sehingga mungkin dapat menolong partai untuk menerima bunyi dalam pemilu nanti dengan kesanggupan ekonominya,\" ungkap ia.

Terakhir, dia mengukur bahwa keputusan itu diambil partai demi mencegah perselisihan internal, karena sebagian dari mereka mengatur posisi penting dalam partai.

\"Jadi seandainya ia pengurus, apalagi ketua partai di tingkat provinsi atau kabupaten memang jadi agak susah bagi partai untuk mengeluarkan orang ini,\" ujar Jeirry.

\"Mungkin memang meminimalisasi perselisihan di internal partai sebab tadi sebagian orang itu masuk sebagai pengurus partai,\" lanjutnya.

Kombinasi ketiganya membikin partai terkesan tak acuh pada harapan publik untuk mempunyai wakil rakyat yang bersih dari tindak korupsi.

\"Ia alesan di atas tadi sehingga ia menaklukkan, artinya partai tak terlalu peduli lagi, pokoknya masuk saja orang-orang ini nanti pertarungan akan terjadi di lapangan,\" tutur ia.

Oleh karena itu, publik perlu menghukum bagus caleg serta partai pengusungnya.

Menurut mengevaluasi parpol hal yang demikian sudah gagal berkontribusi pada janji pemberantasan korupsi.

\"Jadi memang punishment itu juga wajib diberi terhadap partai, tak cuma terhadap caleg, sebab janji partai kepada pemberantasan korupsi dan mendengar aspirasi masyarakat tak ada sama sekali,\" sebut Jeirry.

Koordinator Komite Pemilih (Tepi) Jeirry Sumampouw mengaku keder atas alternatif partai politik yang konsisten mengusung mantan koruptor sebagai calon member legislatif (caleg) pada Pemiu 2019.

Kompas ia, keputusan hal yang demikian bisa berimbas negatif pada perolehan bunyi partai.

\"Di kalangan masyarakat sipil, aku kaprah ada resistensi kepada eks koruptor.

Opini seperti ini telah kita lihat,\" kata Jeirry terhadap Mesti.com, Kamis (20/9/2018).

\"Menurut ini memiliki efek elektoral negatif kepada partai, namun kita juga agak kebingungan mengapa partai tak memandang itu,\" lanjut ia.

Kompas Jeirry, ada unsur mengambil profit dari keputusan partai konsisten mengusung caleg eks terpidana korupsi.

\"Mungkin bunyi, ada juga sebab ada orang-orang yang secara ekonomi kuat, trennya juga bagus,\" kata Jeirry.

Aturan lainnya, berdasarkan Jeirry, partai mungkin cemas akan timbul perselisihan internal jikalau caleg mantan koruptor dicoret.

Putusan MA

Seperti diinformasikan sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) sudah memutus uji materi Pasal 4 Ayat (3) Awam Komisi Pemilihan Anggota (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 perihal perihal Pencalonan Sebagian DPR dan DPRD Kabupaten/kota kepada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 seputar Pemilu (UU Pemilu) pada Kamis (13/9/2018) lalu.

Dalam putusannya, MA mengucapkan bahwa larangan eks narapidana kasus korupsi menjadi calon member legislatif (caleg) bertentangan dengan UU Pemilu.

Putusan hal yang demikian berpengaruh pada berubahnya status tak memenuhi prasyarat (TMS) bakal caleg napi korupsi menjadi memenuhi persyaratan (MS).

Artinya, eks napi korupsi diperkenankan untuk maju sebagai caleg.

Tapi parpol konsisten tak akan mengusung caleg mantan koruptor padahal dibiarkan UU.

, ada pula parpol yang konsisten mencalonkan mereka sebagai calon wakil rakyat.

Parpol yang mengungkapkan akan konsisten mengusung caleg eks napi korupsi terdiri dari, Partai Golkar, Partai Demokrat, dan Partai Gerindra.

Partai Pimpinan Prabowo Subianto Ajukan Caleg Mantan Koruptor Paling Banyak

Enam caleg hal yang demikian, terdiri dari tiga orang caleg DPRD Provinsi, dan tiga orang caleg DPRD Kabupaten Kota.

Tiga caleg mantan koruptor DPRD Provinsi itu antara lain:

1. Mohamad Taufik dari Dapil DKI 3

2. Herry Jones Kere dari Dapil Sulawesi Utara

3. Husen Kausaha dari Dapil Maluku Utara.

Sementara tiga caleg mantan koruptor lainnya dari DPRD Kabupaten/Kota ialah:

1. Alhajad Syahyan dari Dapil Tanggamus

2. Ferizal dari Dapil Belitung Timur

3. Mirhammuddin dari Dapil Belitung Timur.

Diajukannya enam caleg mantan koruptor dari Partai Gerindra mewujudkan partai pimpinan Prabowo Subianto itu sebagai partai politik peserta Pemilu 2019 yang paling banyak mengajukan caleg eks napi korupsi.

Sementara itu, berdasarkan data KPU, sempurna ada 38 caleg mantan koruptor.

Jumlah hal yang demikian terdiri dari 12 caleg DPRD Provinsi dan 26 caleg DPRD Kabupaten/Kota.

KPU baru saja mempertimbangkan 7.968 calon legislatif (caleg) DPR RI.

Jumlah hal yang demikian, terdiri dari 4774 caleg laki-laki dan 3.194 caleg perempuan.

Berbarengan dengan itu, KPU juga memastikan pasangan Joko Widodo-Ma\'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno sebagai pasangan calon presiden yang bersaing dalam Pemilu Presiden 2019. (Fitria Chusna Farisa)

Alasan konsisten usung caleg koruptor

Koordinator Komite Pemilih (Tepi) Jeirry Sumampouw memprediksi bahwa sebagian calon member legislatif ( caleg) mantan koruptor dipertahankan partai politik sebab bisa berperan sebagai \"magnet bunyi\".

\"Ada juga di antara mereka, orang-orang yang memang populer atau kemungkinan diterima masyarakat sehingga dapat menjadi vote getter,\" tutur Jeirry, Kamis (20/9/2018).

Karena itu ialah salah satu alasan yang melatarbelakangi partai politik untuk konsisten mengusung caleg mantan koruptor, walaupun parpol sudah menandatangani pakta integritas.

Jeirry mengucapkan, elemen kedua yang memengaruhi merupakan para caleg eks terpidana korupsi itu bisa mendonasi secara finansial terhadap partai.

\"Kedua, aku kaprah ada di antara mereka yang secara ekonomi bagus sehingga mungkin dapat menolong partai untuk menerima bunyi dalam pemilu nanti dengan kesanggupan ekonominya,\" ungkap ia.

Terakhir, dia mengevaluasi bahwa keputusan itu diambil partai demi mencegah perselisihan internal, karena sebagian dari mereka mengendalikan posisi penting dalam partai.

\"Jadi jika ia pengurus, apalagi ketua partai di tingkat provinsi atau kabupaten memang jadi agak susah bagi partai untuk mengeluarkan orang ini,\" ujar Jeirry.

\"Mungkin memang meminimalisasi perselisihan di internal partai sebab tadi sebagian orang itu masuk sebagai pengurus partai,\" lanjutnya.

Kombinasi ketiganya membikin partai terkesan tak acuh pada kemauan publik untuk mempunyai wakil rakyat yang bersih dari tindak korupsi.

\"Dia alesan di atas tadi sehingga ia menumbangkan, artinya partai tak terlalu peduli lagi, pokoknya masuk saja orang-orang ini nanti pertarungan akan terjadi di lapangan,\" tutur ia.

Oleh karena itu, publik perlu menghukum bagus caleg serta partai pengusungnya.

Berdasarkan mengukur parpol hal yang demikian sudah gagal berkontribusi pada janji pemberantasan korupsi.

\"Jadi memang punishment itu juga semestinya dikasih terhadap partai, tak cuma terhadap caleg, sebab janji partai kepada pemberantasan korupsi dan mendengar aspirasi masyarakat tak ada sama sekali,\" sebut Jeirry.

Koordinator Komite Pemilih (Tepi) Jeirry Sumampouw mengaku kebingungan atas alternatif partai politik yang konsisten mengusung mantan koruptor sebagai calon member legislatif (caleg) pada Pemiu 2019.

Kompas ia, keputusan hal yang demikian bisa berimbas negatif pada perolehan bunyi partai.

\"Di kalangan masyarakat sipil, aku kaprah ada resistensi kepada eks koruptor.

Opini seperti ini telah kita lihat,\" kata Jeirry terhadap Harus.com, Kamis (20/9/2018).

\"Menurut ini memiliki efek elektoral negatif kepada partai, namun kita juga agak linglung mengapa partai tak memandang itu,\" lanjut ia.

Alat Jeirry, ada elemen mengambil profit dari keputusan partai konsisten mengusung caleg eks terpidana korupsi.

\"Mungkin bunyi, ada juga sebab ada orang-orang yang secara ekonomi kuat, trennya juga bagus,\" kata Jeirry.

Regulasi lainnya, berdasarkan Jeirry, partai mungkin cemas akan timbul perselisihan internal kalau caleg mantan koruptor dicoret.

Putusan MA

Seperti dilansir sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) sudah memutus uji materi Pasal 4 Ayat (3) Lazim Komisi Pemilihan Anggota (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 perihal seputar Pencalonan Beberapa DPR dan DPRD Kabupaten/kota kepada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 seputar Pemilu (UU Pemilu) pada Kamis (13/9/2018) lalu.

Dalam putusannya, MA mengucapkan bahwa larangan eks narapidana kasus korupsi menjadi calon member legislatif (caleg) bertentangan dengan UU Pemilu.

Putusan hal yang demikian berimbas pada berubahnya status tak memenuhi prasyarat (TMS) bakal caleg napi korupsi menjadi memenuhi persyaratan (MS).

Artinya, eks napi korupsi dibiarkan untuk maju sebagai caleg.

Namun parpol konsisten tak akan mengusung caleg mantan koruptor walaupun diperkenankan UU.

, ada pula parpol yang konsisten mencalonkan mereka sebagai calon wakil rakyat.

Parpol yang mengungkapkan akan konsisten mengusung caleg eks napi korupsi terdiri dari, Partai Golkar, Partai Demokrat, dan Partai Gerindra.

Partai Pimpinan Prabowo Subianto Ajukan Caleg Mantan Koruptor Paling Banyak

Enam caleg hal yang demikian, terdiri dari tiga orang caleg DPRD Provinsi, dan tiga orang caleg DPRD Kabupaten Kota.

Tiga caleg mantan koruptor DPRD Provinsi itu antara lain:

1. Mohamad Taufik dari Dapil DKI 3

2. Herry Jones Kere dari Dapil Sulawesi Utara

3. Husen Kausaha dari Dapil Maluku Utara.

Sementara tiga caleg mantan koruptor lainnya dari DPRD Kabupaten/Kota yakni:

1. Alhajad Syahyan dari Dapil Tanggamus

2. Ferizal dari Dapil Belitung Timur

3. Mirhammuddin dari Dapil Belitung Timur.

Diajukannya enam caleg mantan koruptor dari Partai Gerindra mewujudkan partai pimpinan Prabowo Subianto itu sebagai partai politik peserta Pemilu 2019 yang paling banyak mengajukan caleg eks napi korupsi.

Sementara itu, berdasarkan data KPU, sempurna ada 38 caleg mantan koruptor.

Jumlah hal yang demikian terdiri dari 12 caleg DPRD Provinsi dan 26 caleg DPRD Kabupaten/Kota.

KPU baru saja mempertimbangkan 7.968 calon legislatif (caleg) DPR RI.

Jumlah hal yang demikian, terdiri dari 4774 caleg laki-laki dan 3.194 caleg perempuan.

Berbarengan dengan itu, KPU juga memutuskan pasangan Joko Widodo-Ma\'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno sebagai pasangan calon presiden yang bersaing dalam Pemilu Presiden 2019. (Fitria Chusna Farisa)

Alasan konsisten usung caleg koruptor

Koordinator Komite Pemilih (Tepi) Jeirry Sumampouw memprediksi bahwa sebagian calon member legislatif ( caleg) mantan koruptor dipertahankan partai politik sebab bisa berperan sebagai \"magnet bunyi\".

\"Ada juga di antara mereka, orang-orang yang memang populer atau kemungkinan diterima masyarakat sehingga dapat menjadi vote getter,\" tutur Jeirry, Kamis (20/9/2018).

Sebab itu adalah salah satu alasan yang melatarbelakangi partai politik untuk konsisten mengusung caleg mantan koruptor, meski parpol sudah menandatangani pakta integritas.

Jeirry mengucapkan, unsur kedua yang memengaruhi yaitu para caleg eks terpidana korupsi itu bisa mendonasi secara finansial terhadap partai.

\"Kedua, aku kaprah ada di antara mereka yang secara ekonomi bagus sehingga mungkin dapat menolong partai untuk menerima bunyi dalam pemilu nanti dengan kecakapan ekonominya,\" ungkap ia.

Terakhir, dia mengukur bahwa keputusan itu diambil partai demi mencegah perselisihan internal, karena sebagian dari mereka mengatur posisi penting dalam partai.

\"Jadi sekiranya ia pengurus, apalagi ketua partai di tingkat provinsi atau kabupaten memang jadi agak susah bagi partai untuk mengeluarkan orang ini,\" ujar Jeirry.

\"Mungkin memang meminimalisasi perselisihan di internal partai sebab tadi sebagian orang itu masuk sebagai pengurus partai,\" lanjutnya.

Kombinasi ketiganya membikin partai terkesan tak acuh pada harapan publik untuk mempunyai wakil rakyat yang bersih dari tindak korupsi.

\"Dia alesan di atas tadi sehingga ia menumbangkan, artinya partai tak terlalu peduli lagi, pokoknya masuk saja orang-orang ini nanti pertarungan akan terjadi di lapangan,\" tutur ia.

Oleh karena itu, publik perlu menghukum bagus caleg serta partai pengusungnya.

Menurut mengevaluasi parpol hal yang demikian sudah gagal berkontribusi pada janji pemberantasan korupsi.

\"Jadi memang punishment itu juga sepatutnya diberi terhadap partai, tak cuma terhadap caleg, sebab janji partai kepada pemberantasan korupsi dan mendengar aspirasi masyarakat tak ada sama sekali,\" sebut Jeirry.

Koordinator Komite Pemilih (Tepi) Jeirry Sumampouw mengaku linglung atas opsi partai politik yang konsisten mengusung mantan koruptor sebagai calon member legislatif (caleg) pada Pemiu 2019.

Alat ia, keputusan hal yang demikian bisa berpengaruh negatif pada perolehan bunyi partai.

\"Di kalangan masyarakat sipil, aku kaprah ada resistensi kepada eks koruptor.

Opini seperti ini telah kita lihat,\" kata Jeirry terhadap Semestinya.com, Kamis (20/9/2018).

\"Menurut ini memiliki efek elektoral negatif kepada partai, namun kita juga agak kebingungan mengapa partai tak mengamati itu,\" lanjut ia.

Penunjuk Jeirry, ada elemen mengambil profit dari keputusan partai konsisten mengusung caleg eks terpidana korupsi.

\"Mungkin bunyi, ada juga sebab ada orang-orang yang secara ekonomi kuat, trennya juga bagus,\" kata Jeirry.

Tata lainnya, berdasarkan Jeirry, partai mungkin cemas akan timbul perselisihan internal sekiranya caleg mantan koruptor dicoret.

Putusan MA

Seperti dilansir sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) sudah memutus uji materi Pasal 4 Ayat (3) Umum Komisi Pemilihan Anggota (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 perihal perihal Pencalonan Beberapa DPR dan DPRD Kabupaten/kota kepada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 seputar Pemilu (UU Pemilu) pada Kamis (13/9/2018) lalu.

Dalam putusannya, MA mengungkapkan bahwa larangan eks narapidana kasus korupsi menjadi calon member legislatif (caleg) bertentangan dengan UU Pemilu.

Putusan hal yang demikian berdampak pada berubahnya status tak memenuhi prasyarat (TMS) bakal caleg napi korupsi menjadi memenuhi prasyarat (MS).

Artinya, eks napi korupsi dibiarkan untuk maju sebagai caleg.

Melainkan parpol konsisten tak akan mengusung caleg mantan koruptor meskipun diperbolehkan UU.

, ada pula parpol yang konsisten mencalonkan mereka sebagai calon wakil rakyat.

Parpol yang mengungkapkan akan konsisten mengusung caleg eks napi korupsi terdiri dari, Partai Golkar, Partai Demokrat, dan Partai Gerindra.

Partai Pimpinan Prabowo Subianto Ajukan Caleg Mantan Koruptor Paling Banyak

Enam caleg hal yang demikian, terdiri dari tiga orang caleg DPRD Provinsi, dan tiga orang caleg DPRD Kabupaten Kota.

Tiga caleg mantan koruptor DPRD Provinsi itu antara lain:

1. Mohamad Taufik dari Dapil DKI 3

2. Herry Jones Kere dari Dapil Sulawesi Utara

3. Husen Kausaha dari Dapil Maluku Utara.

Sementara tiga caleg mantan koruptor lainnya dari DPRD Kabupaten/Kota yakni:

1. Alhajad Syahyan dari Dapil Tanggamus

2. Ferizal dari Dapil Belitung Timur

3. Mirhammuddin dari Dapil Belitung Timur.

Diajukannya enam caleg mantan koruptor dari Partai Gerindra menghasilkan partai pimpinan Prabowo Subianto itu sebagai partai politik peserta Pemilu 2019 yang paling banyak mengajukan caleg eks napi korupsi.

Sementara itu, berdasarkan data KPU, sempurna ada 38 caleg mantan koruptor.

Jumlah hal yang demikian terdiri dari 12 caleg DPRD Provinsi dan 26 caleg DPRD Kabupaten/Kota.

KPU baru saja mempertimbangkan 7.968 calon legislatif (caleg) DPR RI.

Jumlah hal yang demikian, terdiri dari 4774 caleg laki-laki dan 3.194 caleg perempuan.

Beriringan dengan itu, KPU juga memastikan pasangan Joko Widodo-Ma\'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno sebagai pasangan calon presiden yang bersaing dalam Pemilu Presiden 2019. (Fitria Chusna Farisa)

Alasan konsisten usung caleg koruptor

Koordinator Komite Pemilih (Tepi) Jeirry Sumampouw memprediksi bahwa sebagian calon member legislatif ( caleg) mantan koruptor dipertahankan partai politik sebab bisa berperan sebagai \"magnet bunyi\".

\"Ada juga di antara mereka, orang-orang yang memang populer atau kemungkinan diterima masyarakat sehingga dapat menjadi vote getter,\" tutur Jeirry, Kamis (20/9/2018).

Karena itu adalah salah satu alasan yang melatarbelakangi partai politik untuk konsisten mengusung caleg mantan koruptor, padahal parpol sudah menandatangani pakta integritas.

Jeirry menyatakan, unsur kedua yang memengaruhi ialah para caleg eks terpidana korupsi itu bisa mendonasi secara finansial terhadap partai.

\"Kedua, aku kaprah ada di antara mereka yang secara ekonomi bagus sehingga mungkin dapat menolong partai untuk menerima bunyi dalam pemilu nanti dengan kesanggupan ekonominya,\" ungkap ia.

Terakhir, dia mengukur bahwa keputusan itu diambil partai demi mencegah perselisihan internal, karena sebagian dari mereka mengendalikan posisi penting dalam partai.

\"Jadi apabila ia pengurus, apalagi ketua partai di tingkat provinsi atau kabupaten memang jadi agak susah bagi partai untuk mengeluarkan orang ini,\" ujar Jeirry.

\"Mungkin memang meminimalisasi perselisihan di internal partai sebab tadi sebagian orang itu masuk sebagai pengurus partai,\" lanjutnya.

Kombinasi ketiganya membikin partai terkesan tak acuh pada harapan publik untuk mempunyai wakil rakyat yang bersih dari tindak korupsi.

\"Dia alesan di atas tadi sehingga ia menaklukkan, artinya partai tak terlalu peduli lagi, pokoknya masuk saja orang-orang ini nanti pertarungan akan terjadi di lapangan,\" tutur ia.

Oleh karena itu, publik perlu menghukum bagus caleg serta partai pengusungnya.

Menurut mengukur parpol hal yang demikian sudah gagal berkontribusi pada janji pemberantasan korupsi.

\"Jadi memang punishment itu juga semestinya diberi terhadap partai, tak cuma terhadap caleg, sebab janji partai kepada pemberantasan korupsi dan mendengar aspirasi masyarakat tak ada sama sekali,\" sebut Jeirry.

Koordinator Komite Pemilih (Tepi) Jeirry Sumampouw mengaku kebingungan atas alternatif partai politik yang konsisten mengusung mantan koruptor sebagai calon member legislatif (caleg) pada Pemiu 2019.

Alat ia, keputusan hal yang demikian bisa berpengaruh negatif pada perolehan bunyi partai.

\"Di kalangan masyarakat sipil, aku kaprah ada resistensi kepada eks koruptor.

Opini seperti ini telah kita lihat,\" kata Jeirry terhadap Patut.com, Kamis (20/9/2018).

\"Berdasarkan ini memiliki efek elektoral negatif kepada partai, namun kita juga agak linglung mengapa partai tak memperhatikan itu,\" lanjut ia.

Alat Jeirry, ada elemen mengambil profit dari keputusan partai konsisten mengusung caleg eks terpidana korupsi.

\"Mungkin bunyi, ada juga sebab ada orang-orang yang secara ekonomi kuat, trennya juga bagus,\" kata Jeirry.

Peraturan lainnya, berdasarkan Jeirry, partai mungkin kuatir akan timbul perselisihan internal sekiranya caleg mantan koruptor dicoret.

Putusan MA

Seperti dilansir sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) sudah memutus uji materi Pasal 4 Ayat (3) Lazim Komisi Pemilihan Member (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 seputar seputar Pencalonan Sebagian DPR dan DPRD Kabupaten/kota kepada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 perihal Pemilu (UU Pemilu) pada Kamis (13/9/2018) lalu.

Dalam putusannya, MA mengungkapkan bahwa larangan eks narapidana kasus korupsi menjadi calon member legislatif (caleg) bertentangan dengan UU Pemilu.

Putusan hal yang demikian berpengaruh pada berubahnya status tak memenuhi persyaratan (TMS) bakal caleg napi korupsi menjadi memenuhi prasyarat (MS).

Artinya, eks napi korupsi diizinkan untuk maju sebagai caleg.

Melainkan parpol konsisten tak akan mengusung caleg mantan koruptor walaupun diperbolehkan UU.

, ada pula parpol yang konsisten mencalonkan mereka sebagai calon wakil rakyat.

Parpol yang mengucapkan akan konsisten mengusung caleg eks napi korupsi terdiri dari, Partai Golkar, Partai Demokrat, dan Partai Gerindra.

Partai Pimpinan Prabowo Subianto Ajukan Caleg Mantan Koruptor Paling Banyak

Enam caleg hal yang demikian, terdiri dari tiga orang caleg DPRD Provinsi, dan tiga orang caleg DPRD Kabupaten Kota.

Tiga caleg mantan koruptor DPRD Provinsi itu antara lain:

1. Mohamad Taufik dari Dapil DKI 3

2. Herry Jones Kere dari Dapil Sulawesi Utara

3. Husen Kausaha dari Dapil Maluku Utara.

Sementara tiga caleg mantan koruptor lainnya dari DPRD Kabupaten/Kota yakni:

1. Alhajad Syahyan dari Dapil Tanggamus

2. Ferizal dari Dapil Belitung Timur

3. Mirhammuddin dari Dapil Belitung Timur.

Diajukannya enam caleg mantan koruptor dari Partai Gerindra menciptakan partai pimpinan Prabowo Subianto itu sebagai partai politik peserta Pemilu 2019 yang paling banyak mengajukan caleg eks napi korupsi.

Sementara itu, berdasarkan data KPU, sempurna ada 38 caleg mantan koruptor.

Jumlah hal yang demikian terdiri dari 12 caleg DPRD Provinsi dan 26 caleg DPRD Kabupaten/Kota.

KPU baru saja memastikan 7.968 calon legislatif (caleg) DPR RI.

Jumlah hal yang demikian, terdiri dari 4774 caleg laki-laki dan 3.194 caleg perempuan.

Beriringan dengan itu, KPU juga mempertimbangkan pasangan Joko Widodo-Ma\'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno sebagai pasangan calon presiden yang bersaing dalam Pemilu Presiden 2019. (Fitria Chusna Farisa)

Alasan konsisten usung caleg koruptor

Koordinator Komite Pemilih (Tepi) Jeirry Sumampouw memprediksi bahwa sebagian calon member legislatif ( caleg) mantan koruptor dipertahankan partai politik sebab bisa berperan sebagai \"magnet bunyi\".

\"Ada juga di antara mereka, orang-orang yang memang populer atau kemungkinan diterima masyarakat sehingga dapat menjadi vote getter,\" tutur Jeirry, Kamis (20/9/2018).

Karena itu adalah salah satu alasan yang melatarbelakangi partai politik untuk konsisten mengusung caleg mantan koruptor, padahal parpol sudah menandatangani pakta integritas.

Jeirry menyuarakan, unsur kedua yang memengaruhi yakni para caleg eks terpidana korupsi itu bisa mendonasi secara finansial terhadap partai.

\"Kedua, aku kaprah ada di antara mereka yang secara ekonomi bagus sehingga mungkin dapat menolong partai untuk menerima bunyi dalam pemilu nanti dengan kecakapan ekonominya,\" ungkap ia.

Terakhir, dia mengukur bahwa keputusan itu diambil partai demi mencegah perselisihan internal, karena sebagian dari mereka mengatur posisi penting dalam partai.

\"Jadi bila ia pengurus, apalagi ketua partai di tingkat provinsi atau kabupaten memang jadi agak susah bagi partai untuk mengeluarkan orang ini,\" ujar Jeirry.

\"Mungkin memang meminimalisasi perselisihan di internal partai sebab tadi sebagian orang itu masuk sebagai pengurus partai,\" lanjutnya.

Kombinasi ketiganya membikin partai terkesan tak acuh pada kemauan publik untuk mempunyai wakil rakyat yang bersih dari tindak korupsi.

\"Ia alesan di atas tadi sehingga ia menaklukkan, artinya partai tak terlalu peduli lagi, pokoknya masuk saja orang-orang ini nanti pertarungan akan terjadi di lapangan,\" tutur ia.

Oleh karena itu, publik perlu menghukum bagus caleg serta partai pengusungnya.

Berdasarkan mengevaluasi parpol hal yang demikian sudah gagal berkontribusi pada janji pemberantasan korupsi.

\"Jadi memang punishment itu juga wajib diberi terhadap partai, tak cuma terhadap caleg, sebab janji partai kepada pemberantasan korupsi dan mendengar aspirasi masyarakat tak ada sama sekali,\" sebut Jeirry.

Koordinator Komite Pemilih (Tepi) Jeirry Sumampouw mengaku keder atas opsi partai politik yang konsisten mengusung mantan koruptor sebagai calon member legislatif (caleg) pada Pemiu 2019.

Alat ia, keputusan hal yang demikian bisa berakibat negatif pada perolehan bunyi partai.

\"Di kalangan masyarakat sipil, aku kaprah ada resistensi kepada eks koruptor.

Opini seperti ini telah kita lihat,\" kata Jeirry terhadap Patut.com, Kamis (20/9/2018).

\"Menurut ini memiliki efek elektoral negatif kepada partai, tapi kita juga agak linglung mengapa partai tak memandang itu,\" lanjut ia.

Kompas Jeirry, ada elemen mengambil profit dari keputusan partai konsisten mengusung caleg eks terpidana korupsi.

\"Mungkin bunyi, ada juga sebab ada orang-orang yang secara ekonomi kuat, trennya juga bagus,\" kata Jeirry.

Aturan lainnya, berdasarkan Jeirry, partai mungkin cemas akan timbul perselisihan internal sekiranya caleg mantan koruptor dicoret.

Putusan MA

Seperti diinformasikan sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) sudah memutus uji materi Pasal 4 Ayat (3) Biasa Komisi Pemilihan Member (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 seputar perihal Pencalonan Beberapa DPR dan DPRD Kabupaten/kota kepada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 seputar Pemilu (UU Pemilu) pada Kamis (13/9/2018) lalu.

Dalam putusannya, MA mengungkapkan bahwa larangan eks narapidana kasus korupsi menjadi calon member legislatif (caleg) bertentangan dengan UU Pemilu.

Putusan hal yang demikian berpengaruh pada berubahnya status tak memenuhi persyaratan (TMS) bakal caleg napi korupsi menjadi memenuhi persyaratan (MS).

Artinya, eks napi korupsi dibiarkan untuk maju sebagai caleg.

Tapi parpol konsisten tak akan mengusung caleg mantan koruptor sedangkan dibolehkan UU.

, ada pula parpol yang konsisten mencalonkan mereka sebagai calon wakil rakyat.

Parpol yang menyuarakan akan konsisten mengusung caleg eks napi korupsi terdiri dari, Partai Golkar, Partai Demokrat, dan Partai Gerindra.

Partai Pimpinan Prabowo Subianto Ajukan Caleg Mantan Koruptor Paling Banyak

Enam caleg hal yang demikian, terdiri dari tiga orang caleg DPRD Provinsi, dan tiga orang caleg DPRD Kabupaten Kota.

Tiga caleg mantan koruptor DPRD Provinsi itu antara lain:

1. Mohamad Taufik dari Dapil DKI 3

2. Herry Jones Kere dari Dapil Sulawesi Utara

3. Husen Kausaha dari Dapil Maluku Utara.

Sementara tiga caleg mantan koruptor lainnya dari DPRD Kabupaten/Kota adalah:

1. Alhajad Syahyan dari Dapil Tanggamus

2. Ferizal dari Dapil Belitung Timur

3. Mirhammuddin dari Dapil Belitung Timur.

Diajukannya enam caleg mantan koruptor dari Partai Gerindra mewujudkan partai pimpinan Prabowo Subianto itu sebagai partai politik peserta Pemilu 2019 yang paling banyak mengajukan caleg eks napi korupsi.

Sementara itu, berdasarkan data KPU, sempurna ada 38 caleg mantan koruptor.

Jumlah hal yang demikian terdiri dari 12 caleg DPRD Provinsi dan 26 caleg DPRD Kabupaten/Kota.

KPU baru saja memastikan 7.968 calon legislatif (caleg) DPR RI.

Jumlah hal yang demikian, terdiri dari 4774 caleg laki-laki dan 3.194 caleg perempuan.

Berbarengan dengan itu, KPU juga mempertimbangkan pasangan Joko Widodo-Ma\'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno sebagai pasangan calon presiden yang bersaing dalam Pemilu Presiden 2019. (Fitria Chusna Farisa)

Alasan konsisten usung caleg koruptor

Koordinator Komite Pemilih (Tepi) Jeirry Sumampouw memprediksi bahwa sebagian calon member legislatif ( caleg) mantan koruptor dipertahankan partai politik sebab bisa berperan sebagai \"magnet bunyi\".

\"Ada juga di antara mereka, orang-orang yang memang populer atau kemungkinan diterima masyarakat sehingga dapat menjadi vote getter,\" tutur Jeirry, Kamis (20/9/2018).

Karena itu ialah salah satu alasan yang melatarbelakangi partai politik untuk konsisten mengusung caleg mantan koruptor, walaupun parpol sudah menandatangani pakta integritas.

Jeirry menyuarakan, unsur kedua yang memengaruhi yaitu para caleg eks terpidana korupsi itu bisa mendonasi secara finansial terhadap partai.

\"Kedua, aku kaprah ada di antara mereka yang secara ekonomi bagus sehingga mungkin dapat menolong partai untuk menerima bunyi dalam pemilu nanti dengan kesanggupan ekonominya,\" ungkap ia.

Terakhir, dia mengukur bahwa keputusan itu diambil partai demi mencegah perselisihan internal, karena sebagian dari mereka mengatur posisi penting dalam partai.

\"Jadi sekiranya ia pengurus, apalagi ketua partai di tingkat provinsi atau kabupaten memang jadi agak susah bagi partai untuk mengeluarkan orang ini,\" ujar Jeirry.

\"Mungkin memang meminimalisasi perselisihan di internal partai sebab tadi sebagian orang itu masuk sebagai pengurus partai,\" lanjutnya.

Kombinasi ketiganya membikin partai terkesan tak acuh pada harapan publik untuk mempunyai wakil rakyat yang bersih dari tindak korupsi.

\"Dia alesan di atas tadi sehingga ia menaklukkan, artinya partai tak terlalu peduli lagi, pokoknya masuk saja orang-orang ini nanti pertarungan akan terjadi di lapangan,\" tutur ia.

Oleh karena itu, publik perlu menghukum bagus caleg serta partai pengusungnya.

Berdasarkan mengevaluasi parpol hal yang demikian sudah gagal berkontribusi pada janji pemberantasan korupsi.

\"Jadi memang punishment itu juga patut dikasih terhadap partai, tak cuma terhadap caleg, sebab janji partai kepada pemberantasan korupsi dan mendengar aspirasi masyarakat tak ada sama sekali,\" sebut Jeirry.

Koordinator Komite Pemilih (Tepi) Jeirry Sumampouw mengaku keder atas opsi partai politik yang konsisten mengusung mantan koruptor sebagai calon member legislatif (caleg) pada Pemiu 2019.

Kompas ia, keputusan hal yang demikian bisa berakibat negatif pada perolehan bunyi partai.

\"Di kalangan masyarakat sipil, aku kaprah ada resistensi kepada eks koruptor.

Opini seperti ini telah kita lihat,\" kata Jeirry terhadap Semestinya.com, Kamis (20/9/2018).

\"Menurut ini memiliki efek elektoral negatif kepada partai, melainkan kita juga agak kebingungan mengapa partai tak memperhatikan itu,\" lanjut ia.

Penunjuk Jeirry, ada unsur mengambil profit dari keputusan partai konsisten mengusung caleg eks terpidana korupsi.

\"Mungkin bunyi, ada juga sebab ada orang-orang yang secara ekonomi kuat, trennya juga bagus,\" kata Jeirry.

Tertib lainnya, berdasarkan Jeirry, partai mungkin kuatir akan timbul perselisihan internal bila caleg mantan koruptor dicoret.

Putusan MA

Seperti diinfokan sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) sudah memutus uji materi Pasal 4 Ayat (3) Umum Komisi Pemilihan Member (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 perihal perihal Pencalonan Sebagian DPR dan DPRD Kabupaten/kota kepada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 perihal Pemilu (UU Pemilu) pada Kamis (13/9/2018) lalu.

Dalam putusannya, MA mengucapkan bahwa larangan eks narapidana kasus korupsi menjadi calon member legislatif (caleg) bertentangan dengan UU Pemilu.

Putusan hal yang demikian berpengaruh pada berubahnya status tak memenuhi prasyarat (TMS) bakal caleg napi korupsi menjadi memenuhi persyaratan (MS).

Artinya, eks napi korupsi dibolehkan untuk maju sebagai caleg.

Tetapi parpol konsisten tak akan mengusung caleg mantan koruptor walaupun diperbolehkan UU.

, ada pula parpol yang konsisten mencalonkan mereka sebagai calon wakil rakyat.

Parpol yang mengungkapkan akan konsisten mengusung caleg eks napi korupsi terdiri dari, Partai Golkar, Partai Demokrat, dan Partai Gerindra.

Partai Pimpinan Prabowo Subianto Ajukan Caleg Mantan Koruptor Paling Banyak

Enam caleg hal yang demikian, terdiri dari tiga orang caleg DPRD Provinsi, dan tiga orang caleg DPRD Kabupaten Kota.

Tiga caleg mantan koruptor DPRD Provinsi itu antara lain:

1. Mohamad Taufik dari Dapil DKI 3

2. Herry Jones Kere dari Dapil Sulawesi Utara

3. Husen Kausaha dari Dapil Maluku Utara.

Sementara tiga caleg mantan koruptor lainnya dari DPRD Kabupaten/Kota adalah:

1. Alhajad Syahyan dari Dapil Tanggamus

2. Ferizal dari Dapil Belitung Timur

3. Mirhammuddin dari Dapil Belitung Timur.

Diajukannya enam caleg mantan koruptor dari Partai Gerindra menciptakan partai pimpinan Prabowo Subianto itu sebagai partai politik peserta Pemilu 2019 yang paling banyak mengajukan caleg eks napi korupsi.

Sementara itu, berdasarkan data KPU, sempurna ada 38 caleg mantan koruptor.

Jumlah hal yang demikian terdiri dari 12 caleg DPRD Provinsi dan 26 caleg DPRD Kabupaten/Kota.

KPU baru saja mempertimbangkan 7.968 calon legislatif (caleg) DPR RI.

Jumlah hal yang demikian, terdiri dari 4774 caleg laki-laki dan 3.194 caleg perempuan.

Berbarengan dengan itu, KPU juga memutuskan pasangan Joko Widodo-Ma\'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno sebagai pasangan calon presiden yang bersaing dalam Pemilu Presiden 2019. (Fitria Chusna Farisa)

Alasan konsisten usung caleg koruptor

Koordinator Komite Pemilih (Tepi) Jeirry Sumampouw memprediksi bahwa sebagian calon member legislatif ( caleg) mantan koruptor dipertahankan partai politik sebab bisa berperan sebagai \"magnet bunyi\".

\"Ada juga di antara mereka, orang-orang yang memang populer atau kemungkinan diterima masyarakat sehingga dapat menjadi vote getter,\" tutur Jeirry, Kamis (20/9/2018).

Karena itu yakni salah satu alasan yang melatarbelakangi partai politik untuk konsisten mengusung caleg mantan koruptor, meski parpol sudah menandatangani pakta integritas.

Jeirry menyatakan, elemen kedua yang memengaruhi yaitu para caleg eks terpidana korupsi itu bisa mendonasi secara finansial terhadap partai.

\"Kedua, aku kaprah ada di antara mereka yang secara ekonomi bagus sehingga mungkin dapat menolong partai untuk menerima bunyi dalam pemilu nanti dengan kecakapan ekonominya,\" ungkap ia.

Terakhir, dia mengukur bahwa keputusan itu diambil partai demi mencegah perselisihan internal, karena sebagian dari mereka mengatur posisi penting dalam partai.

\"Jadi seandainya ia pengurus, apalagi ketua partai di tingkat provinsi atau kabupaten memang jadi agak susah bagi partai untuk mengeluarkan orang ini,\" ujar Jeirry.

\"Mungkin memang meminimalisasi perselisihan di internal partai sebab tadi sebagian orang itu masuk sebagai pengurus partai,\" lanjutnya.

Kombinasi ketiganya membikin partai terkesan tak acuh pada kemauan publik untuk mempunyai wakil rakyat yang bersih dari tindak korupsi.

\"Ia alesan di atas tadi sehingga ia menaklukkan, artinya partai tak terlalu peduli lagi, pokoknya masuk saja orang-orang ini nanti pertarungan akan terjadi di lapangan,\" tutur ia.

Oleh karena itu, publik perlu menghukum bagus caleg serta partai pengusungnya.

Menurut mengukur parpol hal yang demikian sudah gagal berkontribusi pada janji pemberantasan korupsi.

\"Jadi memang punishment itu juga wajib diberi terhadap partai, tak cuma terhadap caleg, sebab janji partai kepada pemberantasan korupsi dan mendengar aspirasi masyarakat tak ada sama sekali,\" sebut Jeirry.

Koordinator Komite Pemilih (Tepi) Jeirry Sumampouw mengaku keder atas opsi partai politik yang konsisten mengusung mantan koruptor sebagai calon member legislatif (caleg) pada Pemiu 2019.

Arah ia, keputusan hal yang demikian bisa berakibat negatif pada perolehan bunyi partai.

\"Di kalangan masyarakat sipil, aku kaprah ada resistensi kepada eks koruptor.

Opini seperti ini telah kita lihat,\" kata Jeirry terhadap Sepatutnya.com, Kamis (20/9/2018).

\"Berdasarkan ini memiliki efek elektoral negatif kepada partai, melainkan kita juga agak kebingungan mengapa partai tak memandang itu,\" lanjut ia.

Kompas Jeirry, ada elemen mengambil profit dari keputusan partai konsisten mengusung caleg eks terpidana korupsi.

\"Mungkin bunyi, ada juga sebab ada orang-orang yang secara ekonomi kuat, trennya juga bagus,\" kata Jeirry.

Peraturan lainnya, berdasarkan Jeirry, partai mungkin cemas akan timbul perselisihan internal kalau caleg mantan koruptor dicoret.

Putusan MA

Seperti diinformasikan sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) sudah memutus uji materi Pasal 4 Ayat (3) Umum Komisi Pemilihan Anggota (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 seputar seputar Pencalonan Sebagian DPR dan DPRD Kabupaten/kota kepada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 seputar Pemilu (UU Pemilu) pada Kamis (13/9/2018) lalu.

Dalam putusannya, MA mengungkapkan bahwa larangan eks narapidana kasus korupsi menjadi calon member legislatif (caleg) bertentangan dengan UU Pemilu.

Putusan hal yang demikian berimbas pada berubahnya status tak memenuhi prasyarat (TMS) bakal caleg napi korupsi menjadi memenuhi persyaratan (MS).

Artinya, eks napi korupsi diizinkan untuk maju sebagai caleg.

Tapi parpol konsisten tak akan mengusung caleg mantan koruptor padahal dibolehkan UU.

, ada pula parpol yang konsisten mencalonkan mereka sebagai calon wakil rakyat.

Parpol yang mengungkapkan akan konsisten mengusung caleg eks napi korupsi terdiri dari, Partai Golkar, Partai Demokrat, dan Partai Gerindra.

Partai Pimpinan Prabowo Subianto Ajukan Caleg Mantan Koruptor Paling Banyak

Enam caleg hal yang demikian, terdiri dari tiga orang caleg DPRD Provinsi, dan tiga orang caleg DPRD Kabupaten Kota.

Tiga caleg mantan koruptor DPRD Provinsi itu antara lain:

1. Mohamad Taufik dari Dapil DKI 3

2. Herry Jones Kere dari Dapil Sulawesi Utara

3. Husen Kausaha dari Dapil Maluku Utara.

Sementara tiga caleg mantan koruptor lainnya dari DPRD Kabupaten/Kota merupakan:

1. Alhajad Syahyan dari Dapil Tanggamus

2. Ferizal dari Dapil Belitung Timur

3. Mirhammuddin dari Dapil Belitung Timur.

Diajukannya enam caleg mantan koruptor dari Partai Gerindra mewujudkan partai pimpinan Prabowo Subianto itu sebagai partai politik peserta Pemilu 2019 yang paling banyak mengajukan caleg eks napi korupsi.

Sementara itu, berdasarkan data KPU, sempurna ada 38 caleg mantan koruptor.

Jumlah hal yang demikian terdiri dari 12 caleg DPRD Provinsi dan 26 caleg DPRD Kabupaten/Kota.

KPU baru saja menentukan 7.968 calon legislatif (caleg) DPR RI.

Jumlah hal yang demikian, terdiri dari 4774 caleg laki-laki dan 3.194 caleg perempuan.

Berbarengan dengan itu, KPU juga memutuskan pasangan Joko Widodo-Ma\'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno sebagai pasangan calon presiden yang bersaing dalam Pemilu Presiden 2019. (Fitria Chusna Farisa)

Alasan konsisten usung caleg koruptor

Koordinator Komite Pemilih (Tepi) Jeirry Sumampouw memprediksi bahwa sebagian calon member legislatif ( caleg) mantan koruptor dipertahankan partai politik sebab bisa berperan sebagai \"magnet bunyi\".

\"Ada juga di antara mereka, orang-orang yang memang populer atau kemungkinan diterima masyarakat sehingga dapat menjadi vote getter,\" tutur Jeirry, Kamis (20/9/2018).

Sebab itu adalah salah satu alasan yang melatarbelakangi partai politik untuk konsisten mengusung caleg mantan koruptor, meski parpol sudah menandatangani pakta integritas.

Jeirry menyuarakan, elemen kedua yang memengaruhi yakni para caleg eks terpidana korupsi itu bisa mendonasi secara finansial terhadap partai.

\"Kedua, aku kaprah ada di antara mereka yang secara ekonomi bagus sehingga mungkin dapat menolong partai untuk menerima bunyi dalam pemilu nanti dengan kesanggupan ekonominya,\" ungkap ia.

Terakhir, dia mengukur bahwa keputusan itu diambil partai demi mencegah perselisihan internal, karena sebagian dari mereka membatasi posisi penting dalam partai.

\"Jadi seandainya ia pengurus, apalagi ketua partai di tingkat provinsi atau kabupaten memang jadi agak susah bagi partai untuk mengeluarkan orang ini,\" ujar Jeirry.

\"Mungkin memang meminimalisasi perselisihan di internal partai sebab tadi sebagian orang itu masuk sebagai pengurus partai,\" lanjutnya.

Kombinasi ketiganya membikin partai terkesan tak acuh pada harapan publik untuk mempunyai wakil rakyat yang bersih dari tindak korupsi.

\"Dia alesan di atas tadi sehingga ia menaklukkan, artinya partai tak terlalu peduli lagi, pokoknya masuk saja orang-orang ini nanti pertarungan akan terjadi di lapangan,\" tutur ia.

Oleh karena itu, publik perlu menghukum bagus caleg serta partai pengusungnya.

Berdasarkan mengukur parpol hal yang demikian sudah gagal berkontribusi pada janji pemberantasan korupsi.

\"Jadi memang punishment itu juga semestinya dikasih terhadap partai, tak cuma terhadap caleg, sebab janji partai kepada pemberantasan korupsi dan mendengar aspirasi masyarakat tak ada sama sekali,\" sebut Jeirry.

Koordinator Komite Pemilih (Tepi) Jeirry Sumampouw mengaku kebingungan atas alternatif partai politik yang konsisten mengusung mantan koruptor sebagai calon member legislatif (caleg) pada Pemiu 2019.

Arah ia, keputusan hal yang demikian bisa berpengaruh negatif pada perolehan bunyi partai.

\"Di kalangan masyarakat sipil, aku kaprah ada resistensi kepada eks koruptor.

Opini seperti ini telah kita lihat,\" kata Jeirry terhadap Sepatutnya.com, Kamis (20/9/2018).

\"Menurut ini memiliki efek elektoral negatif kepada partai, namun kita juga agak kebingungan mengapa partai tak memandang itu,\" lanjut ia.

Alat Jeirry, ada unsur mengambil profit dari keputusan partai konsisten mengusung caleg eks terpidana korupsi.

\"Mungkin bunyi, ada juga sebab ada orang-orang yang secara ekonomi kuat, trennya juga bagus,\" kata Jeirry.

Aturan lainnya, berdasarkan Jeirry, partai mungkin kuatir akan timbul perselisihan internal apabila caleg mantan koruptor dicoret.

Putusan MA

Seperti diinfokan sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) sudah memutus uji materi Pasal 4 Ayat (3) Lazim Komisi Pemilihan Member (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 perihal seputar Pencalonan Beberapa DPR dan DPRD Kabupaten/kota kepada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 seputar Pemilu (UU Pemilu) pada Kamis (13/9/2018) lalu.

Dalam putusannya, MA mengungkapkan bahwa larangan eks narapidana kasus korupsi menjadi calon member legislatif (caleg) bertentangan dengan UU Pemilu.

Putusan hal yang demikian berpengaruh pada berubahnya status tak memenuhi persyaratan (TMS) bakal caleg napi korupsi menjadi memenuhi persyaratan (MS).

Artinya, eks napi korupsi diizinkan untuk maju sebagai caleg.

Namun parpol konsisten tak akan mengusung caleg mantan koruptor sedangkan dibolehkan UU.

, ada pula parpol yang konsisten mencalonkan mereka sebagai calon wakil rakyat.

Parpol yang mengucapkan akan konsisten mengusung caleg eks napi korupsi terdiri dari, Partai Golkar, Partai Demokrat, dan Partai Gerindra.

Partai Pimpinan Prabowo Subianto Ajukan Caleg Mantan Koruptor Paling Banyak

Enam caleg hal yang demikian, terdiri dari tiga orang caleg DPRD Provinsi, dan tiga orang caleg DPRD Kabupaten Kota.

Tiga caleg mantan koruptor DPRD Provinsi itu antara lain:

1. Mohamad Taufik dari Dapil DKI 3

2. Herry Jones Kere dari Dapil Sulawesi Utara

3. Husen Kausaha dari Dapil Maluku Utara.

Sementara tiga caleg mantan koruptor lainnya dari DPRD Kabupaten/Kota adalah:

1. Alhajad Syahyan dari Dapil Tanggamus

2. Ferizal dari Dapil Belitung Timur

3. Mirhammuddin dari Dapil Belitung Timur.

Diajukannya enam caleg mantan koruptor dari Partai Gerindra menciptakan partai pimpinan Prabowo Subianto itu sebagai partai politik peserta Pemilu 2019 yang paling banyak mengajukan caleg eks napi korupsi.

Sementara itu, berdasarkan data KPU, sempurna ada 38 caleg mantan koruptor.

Jumlah hal yang demikian terdiri dari 12 caleg DPRD Provinsi dan 26 caleg DPRD Kabupaten/Kota.

KPU baru saja memutuskan 7.968 calon legislatif (caleg) DPR RI.

Jumlah hal yang demikian, terdiri dari 4774 caleg laki-laki dan 3.194 caleg perempuan.

Beriringan dengan itu, KPU juga memastikan pasangan Joko Widodo-Ma\'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno sebagai pasangan calon presiden yang bersaing dalam Pemilu Presiden 2019. (Fitria Chusna Farisa)

Alasan konsisten usung caleg koruptor

Koordinator Komite Pemilih (Tepi) Jeirry Sumampouw memprediksi bahwa sebagian calon member legislatif ( caleg) mantan koruptor dipertahankan partai politik sebab bisa berperan sebagai \"magnet bunyi\".

\"Ada juga di antara mereka, orang-orang yang memang populer atau kemungkinan diterima masyarakat sehingga dapat menjadi vote getter,\" tutur Jeirry, Kamis (20/9/2018).

Karena itu yakni salah satu alasan yang melatarbelakangi partai politik untuk konsisten mengusung caleg mantan koruptor, sedangkan parpol sudah menandatangani pakta integritas.

Jeirry mengucapkan, elemen kedua yang memengaruhi yakni para caleg eks terpidana korupsi itu bisa mendonasi secara finansial terhadap partai.

\"Kedua, aku kaprah ada di antara mereka yang secara ekonomi bagus sehingga mungkin dapat menolong partai untuk menerima bunyi dalam pemilu nanti dengan kesanggupan ekonominya,\" ungkap ia.

Terakhir, dia mengevaluasi bahwa keputusan itu diambil partai demi mencegah perselisihan internal, karena sebagian dari mereka mengontrol posisi penting dalam partai.

\"Jadi bila ia pengurus, apalagi ketua partai di tingkat provinsi atau kabupaten memang jadi agak susah bagi partai untuk mengeluarkan orang ini,\" ujar Jeirry.

\"Mungkin memang meminimalisasi perselisihan di internal partai sebab tadi sebagian orang itu masuk sebagai pengurus partai,\" lanjutnya.

Kombinasi ketiganya membikin partai terkesan tak acuh pada harapan publik untuk mempunyai wakil rakyat yang bersih dari tindak korupsi.

\"Dia alesan di atas tadi sehingga ia menumbangkan, artinya partai tak terlalu peduli lagi, pokoknya masuk saja orang-orang ini nanti pertarungan akan terjadi di lapangan,\" tutur ia.

Oleh karena itu, publik perlu menghukum bagus caleg serta partai pengusungnya.

Berdasarkan mengukur parpol hal yang demikian sudah gagal berkontribusi pada janji pemberantasan korupsi.

\"Jadi memang punishment itu juga mesti diberi terhadap partai, tak cuma terhadap caleg, sebab janji partai kepada pemberantasan korupsi dan mendengar aspirasi masyarakat tak ada sama sekali,\" sebut Jeirry.

Koordinator Komite Pemilih (Tepi) Jeirry Sumampouw mengaku linglung atas opsi partai politik yang konsisten mengusung mantan koruptor sebagai calon member legislatif (caleg) pada Pemiu 2019.

Arah ia, keputusan hal yang demikian bisa berakibat negatif pada perolehan bunyi partai.

\"Di kalangan masyarakat sipil, aku kaprah ada resistensi kepada eks koruptor.

Opini seperti ini telah kita lihat,\" kata Jeirry terhadap Harus.com, Kamis (20/9/2018).

\"Menurut ini memiliki efek elektoral negatif kepada partai, namun kita juga agak kebingungan mengapa partai tak memperhatikan itu,\" lanjut ia.

Penunjuk Jeirry, ada unsur mengambil profit dari keputusan partai konsisten mengusung caleg eks terpidana korupsi.

\"Mungkin bunyi, ada juga sebab ada orang-orang yang secara ekonomi kuat, trennya juga bagus,\" kata Jeirry.

Regulasi lainnya, berdasarkan Jeirry, partai mungkin kuatir akan timbul perselisihan internal jikalau caleg mantan koruptor dicoret.

Putusan MA

Seperti diinformasikan sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) sudah memutus uji materi Pasal 4 Ayat (3) Umum Komisi Pemilihan Anggota (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 perihal perihal Pencalonan Sebagian DPR dan DPRD Kabupaten/kota kepada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 perihal Pemilu (UU Pemilu) pada Kamis (13/9/2018) lalu.

Dalam putusannya, MA mengungkapkan bahwa larangan eks narapidana kasus korupsi menjadi calon member legislatif (caleg) bertentangan dengan UU Pemilu.

Putusan hal yang demikian berpengaruh pada berubahnya status tak memenuhi prasyarat (TMS) bakal caleg napi korupsi menjadi memenuhi prasyarat (MS).

Artinya, eks napi korupsi dibolehkan untuk maju sebagai caleg.

Namun parpol konsisten tak akan mengusung caleg mantan koruptor meskipun diperbolehkan UU.

, ada pula parpol yang konsisten mencalonkan mereka sebagai calon wakil rakyat.

Parpol yang menyuarakan akan konsisten mengusung caleg eks napi korupsi terdiri dari, Partai Golkar, Partai Demokrat, dan Partai Gerindra.

Partai Pimpinan Prabowo Subianto Ajukan Caleg Mantan Koruptor Paling Banyak

Enam caleg hal yang demikian, terdiri dari tiga orang caleg DPRD Provinsi, dan tiga orang caleg DPRD Kabupaten Kota.

Tiga caleg mantan koruptor DPRD Provinsi itu antara lain:

1. Mohamad Taufik dari Dapil DKI 3

2. Herry Jones Kere dari Dapil Sulawesi Utara

3. Husen Kausaha dari Dapil Maluku Utara.

Sementara tiga caleg mantan koruptor lainnya dari DPRD Kabupaten/Kota merupakan:

1. Alhajad Syahyan dari Dapil Tanggamus

2. Ferizal dari Dapil Belitung Timur

3. Mirhammuddin dari Dapil Belitung Timur.

Diajukannya enam caleg mantan koruptor dari Partai Gerindra mewujudkan partai pimpinan Prabowo Subianto itu sebagai partai politik peserta Pemilu 2019 yang paling banyak mengajukan caleg eks napi korupsi.

Sementara itu, berdasarkan data KPU, sempurna ada 38 caleg mantan koruptor.

Jumlah hal yang demikian terdiri dari 12 caleg DPRD Provinsi dan 26 caleg DPRD Kabupaten/Kota.

KPU baru saja memutuskan 7.968 calon legislatif (caleg) DPR RI.

Jumlah hal yang demikian, terdiri dari 4774 caleg laki-laki dan 3.194 caleg perempuan.

Beriringan dengan itu, KPU juga memastikan pasangan Joko Widodo-Ma\'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno sebagai pasangan calon presiden yang bersaing dalam Pemilu Presiden 2019. (Fitria Chusna Farisa)

Alasan konsisten usung caleg koruptor

Koordinator Komite Pemilih (Tepi) Jeirry Sumampouw memprediksi bahwa sebagian calon member legislatif ( caleg) mantan koruptor dipertahankan partai politik sebab bisa berperan sebagai \"magnet bunyi\".

\"Ada juga di antara mereka, orang-orang yang memang populer atau kemungkinan diterima masyarakat sehingga dapat menjadi vote getter,\" tutur Jeirry, Kamis (20/9/2018).

Karena itu yakni salah satu alasan yang melatarbelakangi partai politik untuk konsisten mengusung caleg mantan koruptor, sedangkan parpol sudah menandatangani pakta integritas.

Jeirry menyatakan, elemen kedua yang memengaruhi yakni para caleg eks terpidana korupsi itu bisa mendonasi secara finansial terhadap partai.

\"Kedua, aku kaprah ada di antara mereka yang secara ekonomi bagus sehingga mungkin dapat menolong partai untuk menerima bunyi dalam pemilu nanti dengan kesanggupan ekonominya,\" ungkap ia.

Terakhir, dia mengukur bahwa keputusan itu diambil partai demi mencegah perselisihan internal, karena sebagian dari mereka mengatur posisi penting dalam partai.

\"Jadi sekiranya ia pengurus, apalagi ketua partai di tingkat provinsi atau kabupaten memang jadi agak susah bagi partai untuk mengeluarkan orang ini,\" ujar Jeirry.

\"Mungkin memang meminimalisasi perselisihan di internal partai sebab tadi sebagian orang itu masuk sebagai pengurus partai,\" lanjutnya.

Kombinasi ketiganya membikin partai terkesan tak acuh pada kemauan publik untuk mempunyai wakil rakyat yang bersih dari tindak korupsi.

\"Ia alesan di atas tadi sehingga ia menumbangkan, artinya partai tak terlalu peduli lagi, pokoknya masuk saja orang-orang ini nanti pertarungan akan terjadi di lapangan,\" tutur ia.

Oleh karena itu, publik perlu menghukum bagus caleg serta partai pengusungnya.

Menurut mengukur parpol hal yang demikian sudah gagal berkontribusi pada janji pemberantasan korupsi.

\"Jadi memang punishment itu juga patut diberi terhadap partai, tak cuma terhadap caleg, sebab janji partai kepada pemberantasan korupsi dan mendengar aspirasi masyarakat tak ada sama sekali,\" sebut Jeirry.

Koordinator Komite Pemilih (Tepi) Jeirry Sumampouw mengaku linglung atas opsi partai politik yang konsisten mengusung mantan koruptor sebagai calon member legislatif (caleg) pada Pemiu 2019.

Penunjuk ia, keputusan hal yang demikian bisa berpengaruh negatif pada perolehan bunyi partai.

\"Di kalangan masyarakat sipil, aku kaprah ada resistensi kepada eks koruptor.

Opini seperti ini telah kita lihat,\" kata Jeirry terhadap Mesti.com, Kamis (20/9/2018).

\"Berdasarkan ini memiliki efek elektoral negatif kepada partai, namun kita juga agak linglung mengapa partai tak mengamati itu,\" lanjut ia.

Alat Jeirry, ada unsur mengambil profit dari keputusan partai konsisten mengusung caleg eks terpidana korupsi.

\"Mungkin bunyi, ada juga sebab ada orang-orang yang secara ekonomi kuat, trennya juga bagus,\" kata Jeirry.

Hukum lainnya, berdasarkan Jeirry, partai mungkin cemas akan timbul perselisihan internal jikalau caleg mantan koruptor dicoret.

Putusan MA

Seperti dilansir sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) sudah memutus uji materi Pasal 4 Ayat (3) Awam Komisi Pemilihan Member (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 seputar seputar Pencalonan Sebagian DPR dan DPRD Kabupaten/kota kepada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 perihal Pemilu (UU Pemilu) pada Kamis (13/9/2018) lalu.

Dalam putusannya, MA mengucapkan bahwa larangan eks narapidana kasus korupsi menjadi calon member legislatif (caleg) bertentangan dengan UU Pemilu.

Putusan hal yang demikian berpengaruh pada berubahnya status tak memenuhi prasyarat (TMS) bakal caleg napi korupsi menjadi memenuhi prasyarat (MS).

Artinya, eks napi korupsi diizinkan untuk maju sebagai caleg.

Tapi parpol konsisten tak akan mengusung caleg mantan koruptor walaupun dibolehkan UU.

, ada pula parpol yang konsisten mencalonkan mereka sebagai calon wakil rakyat.

Parpol yang menyuarakan akan konsisten mengusung caleg eks napi korupsi terdiri dari, Partai Golkar, Partai Demokrat, dan Partai Gerindra.

Partai Pimpinan Prabowo Subianto Ajukan Caleg Mantan Koruptor Paling Banyak

Enam caleg hal yang demikian, terdiri dari tiga orang caleg DPRD Provinsi, dan tiga orang caleg DPRD Kabupaten Kota.

Tiga caleg mantan koruptor DPRD Provinsi itu antara lain:

1. Mohamad Taufik dari Dapil DKI 3

2. Herry Jones Kere dari Dapil Sulawesi Utara

3. Husen Kausaha dari Dapil Maluku Utara.

Sementara tiga caleg mantan koruptor lainnya dari DPRD Kabupaten/Kota yakni:

1. Alhajad Syahyan dari Dapil Tanggamus

2. Ferizal dari Dapil Belitung Timur

3. Mirhammuddin dari Dapil Belitung Timur.

Diajukannya enam caleg mantan koruptor dari Partai Gerindra mewujudkan partai pimpinan Prabowo Subianto itu sebagai partai politik peserta Pemilu 2019 yang paling banyak mengajukan caleg eks napi korupsi.

Sementara itu, berdasarkan data KPU, sempurna ada 38 caleg mantan koruptor.

Jumlah hal yang demikian terdiri dari 12 caleg DPRD Provinsi dan 26 caleg DPRD Kabupaten/Kota.

KPU baru saja mempertimbangkan 7.968 calon legislatif (caleg) DPR RI.

Jumlah hal yang demikian, terdiri dari 4774 caleg laki-laki dan 3.194 caleg perempuan.

Berbarengan dengan itu, KPU juga memutuskan pasangan Joko Widodo-Ma\'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno sebagai pasangan calon presiden yang bersaing dalam Pemilu Presiden 2019. (Fitria Chusna Farisa)

Alasan konsisten usung caleg koruptor

Koordinator Komite Pemilih (Tepi) Jeirry Sumampouw memprediksi bahwa sebagian calon member legislatif ( caleg) mantan koruptor dipertahankan partai politik sebab bisa berperan sebagai \"magnet bunyi\".

\"Ada juga di antara mereka, orang-orang yang memang populer atau kemungkinan diterima masyarakat sehingga dapat menjadi vote getter,\" tutur Jeirry, Kamis (20/9/2018).

Karena itu yaitu salah satu alasan yang melatarbelakangi partai politik untuk konsisten mengusung caleg mantan koruptor, meski parpol sudah menandatangani pakta integritas.

Jeirry mengucapkan, unsur kedua yang memengaruhi merupakan para caleg eks terpidana korupsi itu bisa mendonasi secara finansial terhadap partai.

\"Kedua, aku kaprah ada di antara mereka yang secara ekonomi bagus sehingga mungkin dapat menolong partai untuk menerima bunyi dalam pemilu nanti dengan kesanggupan ekonominya,\" ungkap ia.

Terakhir, dia mengukur bahwa keputusan itu diambil partai demi mencegah perselisihan internal, karena sebagian dari mereka mengatur posisi penting dalam partai.

\"Jadi sekiranya ia pengurus, apalagi ketua partai di tingkat provinsi atau kabupaten memang jadi agak susah bagi partai untuk mengeluarkan orang ini,\" ujar Jeirry.

\"Mungkin memang meminimalisasi perselisihan di internal partai sebab tadi sebagian orang itu masuk sebagai pengurus partai,\" lanjutnya.

Kombinasi ketiganya membikin partai terkesan tak acuh pada kemauan publik untuk mempunyai wakil rakyat yang bersih dari tindak korupsi.

\"Ia alesan di atas tadi sehingga ia menaklukkan, artinya partai tak terlalu peduli lagi, pokoknya masuk saja orang-orang ini nanti pertarungan akan terjadi di lapangan,\" tutur ia.

Oleh karena itu, publik perlu menghukum bagus caleg serta partai pengusungnya.

Menurut mengevaluasi parpol hal yang demikian sudah gagal berkontribusi pada janji pemberantasan korupsi.

\"Jadi memang punishment itu juga seharusnya diberi terhadap partai, tak cuma terhadap caleg, sebab janji partai kepada pemberantasan korupsi dan mendengar aspirasi masyarakat tak ada sama sekali,\" sebut Jeirry.

Koordinator Komite Pemilih (Tepi) Jeirry Sumampouw mengaku kebingungan atas opsi partai politik yang konsisten mengusung mantan koruptor sebagai calon member legislatif (caleg) pada Pemiu 2019.

Kompas ia, keputusan hal yang demikian bisa berpengaruh negatif pada perolehan bunyi partai.

\"Di kalangan masyarakat sipil, aku kaprah ada resistensi kepada eks koruptor.

Opini seperti ini telah kita lihat,\" kata Jeirry terhadap Seharusnya.com, Kamis (20/9/2018).

\"Berdasarkan ini memiliki efek elektoral negatif kepada partai, namun kita juga agak kebingungan mengapa partai tak memandang itu,\" lanjut ia.

Alat Jeirry, ada unsur mengambil profit dari keputusan partai konsisten mengusung caleg eks terpidana korupsi.

\"Mungkin bunyi, ada juga sebab ada orang-orang yang secara ekonomi kuat, trennya juga bagus,\" kata Jeirry.

Tata lainnya, berdasarkan Jeirry, partai mungkin cemas akan timbul perselisihan internal apabila caleg mantan koruptor dicoret.

Putusan MA

Seperti dikabarkan sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) sudah memutus uji materi Pasal 4 Ayat (3) Lazim Komisi Pemilihan Anggota (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 perihal perihal Pencalonan Sebagian DPR dan DPRD Kabupaten/kota kepada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 seputar Pemilu (UU Pemilu) pada Kamis (13/9/2018) lalu.

Dalam putusannya, MA menyuarakan bahwa larangan eks narapidana kasus korupsi menjadi calon member legislatif (caleg) bertentangan dengan UU Pemilu.

Putusan hal yang demikian berdampak pada berubahnya status tak memenuhi prasyarat (TMS) bakal caleg napi korupsi menjadi memenuhi prasyarat (MS).

Artinya, eks napi korupsi dibiarkan untuk maju sebagai caleg.

Namun parpol konsisten tak akan mengusung caleg mantan koruptor sedangkan dibolehkan UU.

, ada pula parpol yang konsisten mencalonkan mereka sebagai calon wakil rakyat.

Parpol yang mengucapkan akan konsisten mengusung caleg eks napi korupsi terdiri dari, Partai Golkar, Partai Demokrat, dan Partai Gerindra.

Partai Pimpinan Prabowo Subianto Ajukan Caleg Mantan Koruptor Paling Banyak

Enam caleg hal yang demikian, terdiri dari tiga orang caleg DPRD Provinsi, dan tiga orang caleg DPRD Kabupaten Kota.

Tiga caleg mantan koruptor DPRD Provinsi itu antara lain:

1. Mohamad Taufik dari Dapil DKI 3

2. Herry Jones Kere dari Dapil Sulawesi Utara

3. Husen Kausaha dari Dapil Maluku Utara.

Sementara tiga caleg mantan koruptor lainnya dari DPRD Kabupaten/Kota adalah:

1. Alhajad Syahyan dari Dapil Tanggamus

2. Ferizal dari Dapil Belitung Timur

3. Mirhammuddin dari Dapil Belitung Timur.

Diajukannya enam caleg mantan koruptor dari Partai Gerindra mewujudkan partai pimpinan Prabowo Subianto itu sebagai partai politik peserta Pemilu 2019 yang paling banyak mengajukan caleg eks napi korupsi.

Sementara itu, berdasarkan data KPU, sempurna ada 38 caleg mantan koruptor.

Jumlah hal yang demikian terdiri dari 12 caleg DPRD Provinsi dan 26 caleg DPRD Kabupaten/Kota.

KPU baru saja mempertimbangkan 7.968 calon legislatif (caleg) DPR RI.

Jumlah hal yang demikian, terdiri dari 4774 caleg laki-laki dan 3.194 caleg perempuan.

Berbarengan dengan itu, KPU juga menentukan pasangan Joko Widodo-Ma\'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno sebagai pasangan calon presiden yang bersaing dalam Pemilu Presiden 2019. (Fitria Chusna Farisa)

Alasan konsisten usung caleg koruptor

Koordinator Komite Pemilih (Tepi) Jeirry Sumampouw memprediksi bahwa sebagian calon member legislatif ( caleg) mantan koruptor dipertahankan partai politik sebab bisa berperan sebagai \"magnet bunyi\".

\"Ada juga di antara mereka, orang-orang yang memang populer atau kemungkinan diterima masyarakat sehingga dapat menjadi vote getter,\" tutur Jeirry, Kamis (20/9/2018).

Sebab itu yaitu salah satu alasan yang melatarbelakangi partai politik untuk konsisten mengusung caleg mantan koruptor, meski parpol sudah menandatangani pakta integritas.

Jeirry menyatakan, unsur kedua yang memengaruhi yakni para caleg eks terpidana korupsi itu bisa mendonasi secara finansial terhadap partai.

\"Kedua, aku kaprah ada di antara mereka yang secara ekonomi bagus sehingga mungkin dapat menolong partai untuk menerima bunyi dalam pemilu nanti dengan kecakapan ekonominya,\" ungkap ia.

Terakhir, dia mengukur bahwa keputusan itu diambil partai demi mencegah perselisihan internal, karena sebagian dari mereka mengatur posisi penting dalam partai.

\"Jadi apabila ia pengurus, apalagi ketua partai di tingkat provinsi atau kabupaten memang jadi agak susah bagi partai untuk mengeluarkan orang ini,\" ujar Jeirry.

\"Mungkin memang meminimalisasi perselisihan di internal partai sebab tadi sebagian orang itu masuk sebagai pengurus partai,\" lanjutnya.

Kombinasi ketiganya membikin partai terkesan tak acuh pada harapan publik untuk mempunyai wakil rakyat yang bersih dari tindak korupsi.

\"Dia alesan di atas tadi sehingga ia menaklukkan, artinya partai tak terlalu peduli lagi, pokoknya masuk saja orang-orang ini nanti pertarungan akan terjadi di lapangan,\" tutur ia.

Oleh karena itu, publik perlu menghukum bagus caleg serta partai pengusungnya.

Menurut mengukur parpol hal yang demikian sudah gagal berkontribusi pada janji pemberantasan korupsi.

\"Jadi memang punishment itu juga semestinya diberi terhadap partai, tak cuma terhadap caleg, sebab janji partai kepada pemberantasan korupsi dan mendengar aspirasi masyarakat tak ada sama sekali,\" sebut Jeirry.

Koordinator Komite Pemilih (Tepi) Jeirry Sumampouw mengaku keder atas opsi partai politik yang konsisten mengusung mantan koruptor sebagai calon member legislatif (caleg) pada Pemiu 2019.

Arah ia, keputusan hal yang demikian bisa berpengaruh negatif pada perolehan bunyi partai.

\"Di kalangan masyarakat sipil, aku kaprah ada resistensi kepada eks koruptor.

Opini seperti ini telah kita lihat,\" kata Jeirry terhadap Sepatutnya.com, Kamis (20/9/2018).

\"Berdasarkan ini memiliki efek elektoral negatif kepada partai, tapi kita juga agak keder mengapa partai tak mengamati itu,\" lanjut ia.

Penunjuk Jeirry, ada elemen mengambil profit dari keputusan partai konsisten mengusung caleg eks terpidana korupsi.

\"Mungkin bunyi, ada juga sebab ada orang-orang yang secara ekonomi kuat, trennya juga bagus,\" kata Jeirry.

Hukum lainnya, berdasarkan Jeirry, partai mungkin kuatir akan timbul perselisihan internal kalau caleg mantan koruptor dicoret.

Putusan MA

Seperti diinformasikan sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) sudah memutus uji materi Pasal 4 Ayat (3) Lazim Komisi Pemilihan Anggota (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 seputar perihal Pencalonan Sebagian DPR dan DPRD Kabupaten/kota kepada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 seputar Pemilu (UU Pemilu) pada Kamis (13/9/2018) lalu.

Dalam putusannya, MA menyuarakan bahwa larangan eks narapidana kasus korupsi menjadi calon member legislatif (caleg) bertentangan dengan UU Pemilu.

Putusan hal yang demikian berimbas pada berubahnya status tak memenuhi persyaratan (TMS) bakal caleg napi korupsi menjadi memenuhi prasyarat (MS).

Artinya, eks napi korupsi dibolehkan untuk maju sebagai caleg.

Melainkan parpol konsisten tak akan mengusung caleg mantan koruptor walaupun diperkenankan UU.

, ada pula parpol yang konsisten mencalonkan mereka sebagai calon wakil rakyat.

Parpol yang menyuarakan akan konsisten mengusung caleg eks napi korupsi terdiri dari, Partai Golkar, Partai Demokrat, dan Partai Gerindra.

Partai Pimpinan Prabowo Subianto Ajukan Caleg Mantan Koruptor Paling Banyak

Enam caleg hal yang demikian, terdiri dari tiga orang caleg DPRD Provinsi, dan tiga orang caleg DPRD Kabupaten Kota.

Tiga caleg mantan koruptor DPRD Provinsi itu antara lain:

1. Mohamad Taufik dari Dapil DKI 3

2. Herry Jones Kere dari Dapil Sulawesi Utara

3. Husen Kausaha dari Dapil Maluku Utara.

Sementara tiga caleg mantan koruptor lainnya dari DPRD Kabupaten/Kota adalah:

1. Alhajad Syahyan dari Dapil Tanggamus

2. Ferizal dari Dapil Belitung Timur

3. Mirhammuddin dari Dapil Belitung Timur.

Diajukannya enam caleg mantan koruptor dari Partai Gerindra mewujudkan partai pimpinan Prabowo Subianto itu sebagai partai politik peserta Pemilu 2019 yang paling banyak mengajukan caleg eks napi korupsi.

Sementara itu, berdasarkan data KPU, sempurna ada 38 caleg mantan koruptor.

Jumlah hal yang demikian terdiri dari 12 caleg DPRD Provinsi dan 26 caleg DPRD Kabupaten/Kota.

KPU baru saja memutuskan 7.968 calon legislatif (caleg) DPR RI.

Jumlah hal yang demikian, terdiri dari 4774 caleg laki-laki dan 3.194 caleg perempuan.

Beriringan dengan itu, KPU juga memutuskan pasangan Joko Widodo-Ma\'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno sebagai pasangan calon presiden yang bersaing dalam Pemilu Presiden 2019. (Fitria Chusna Farisa)

Alasan konsisten usung caleg koruptor

Koordinator Komite Pemilih (Tepi) Jeirry Sumampouw memprediksi bahwa sebagian calon member legislatif ( caleg) mantan koruptor dipertahankan partai politik sebab bisa berperan sebagai \"magnet bunyi\".

\"Ada juga di antara mereka, orang-orang yang memang populer atau kemungkinan diterima masyarakat sehingga dapat menjadi vote getter,\" tutur Jeirry, Kamis (20/9/2018).

Sebab itu yakni salah satu alasan yang melatarbelakangi partai politik untuk konsisten mengusung caleg mantan koruptor, padahal parpol sudah menandatangani pakta integritas.

Jeirry menyuarakan, unsur kedua yang memengaruhi merupakan para caleg eks terpidana korupsi itu bisa mendonasi secara finansial terhadap partai.

\"Kedua, aku kaprah ada di antara mereka yang secara ekonomi bagus sehingga mungkin dapat menolong partai untuk menerima bunyi dalam pemilu nanti dengan kecakapan ekonominya,\" ungkap ia.

Terakhir, dia mengevaluasi bahwa keputusan itu diambil partai demi mencegah perselisihan internal, karena sebagian dari mereka mengendalikan posisi penting dalam partai.

\"Jadi jikalau ia pengurus, apalagi ketua partai di tingkat provinsi atau kabupaten memang jadi agak susah bagi partai untuk mengeluarkan orang ini,\" ujar Jeirry.

\"Mungkin memang meminimalisasi perselisihan di internal partai sebab tadi sebagian orang itu masuk sebagai pengurus partai,\" lanjutnya.

Kombinasi ketiganya membikin partai terkesan tak acuh pada harapan publik untuk mempunyai wakil rakyat yang bersih dari tindak korupsi.

\"Dia alesan di atas tadi sehingga ia menumbangkan, artinya partai tak terlalu peduli lagi, pokoknya masuk saja orang-orang ini nanti pertarungan akan terjadi di lapangan,\" tutur ia.

Oleh karena itu, publik perlu menghukum bagus caleg serta partai pengusungnya.

Menurut mengukur parpol hal yang demikian sudah gagal berkontribusi pada janji pemberantasan korupsi.

\"Jadi memang punishment itu juga semestinya diberi terhadap partai, tak cuma terhadap caleg, sebab janji partai kepada pemberantasan korupsi dan mendengar aspirasi masyarakat tak ada sama sekali,\" sebut Jeirry.

Koordinator Komite Pemilih (Tepi) Jeirry Sumampouw mengaku kebingungan atas opsi partai politik yang konsisten mengusung mantan koruptor sebagai calon member legislatif (caleg) pada Pemiu 2019.

Alat ia, keputusan hal yang demikian bisa berakibat negatif pada perolehan bunyi partai.

\"Di kalangan masyarakat sipil, aku kaprah ada resistensi kepada eks koruptor.

Opini seperti ini telah kita lihat,\" kata Jeirry terhadap Wajib.com, Kamis (20/9/2018).

\"Menurut ini memiliki efek elektoral negatif kepada partai, namun kita juga agak keder mengapa partai tak mengamati itu,\" lanjut ia.

Penunjuk Jeirry, ada elemen mengambil profit dari keputusan partai konsisten mengusung caleg eks terpidana korupsi.

\"Mungkin bunyi, ada juga sebab ada orang-orang yang secara ekonomi kuat, trennya juga bagus,\" kata Jeirry.

Regulasi lainnya, berdasarkan Jeirry, partai mungkin cemas akan timbul perselisihan internal bila caleg mantan koruptor dicoret.

Putusan MA

Seperti diinformasikan sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) sudah memutus uji materi Pasal 4 Ayat (3) Awam Komisi Pemilihan Anggota (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 seputar seputar Pencalonan Sebagian DPR dan DPRD Kabupaten/kota kepada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 perihal Pemilu (UU Pemilu) pada Kamis (13/9/2018) lalu.

Dalam putusannya, MA menyuarakan bahwa larangan eks narapidana kasus korupsi menjadi calon member legislatif (caleg) bertentangan dengan UU Pemilu.

Putusan hal yang demikian berimbas pada berubahnya status tak memenuhi persyaratan (TMS) bakal caleg napi korupsi menjadi memenuhi persyaratan (MS).

Artinya, eks napi korupsi diperkenankan untuk maju sebagai caleg.

Namun parpol konsisten tak akan mengusung caleg mantan koruptor sedangkan diperbolehkan UU.

, ada pula parpol yang konsisten mencalonkan mereka sebagai calon wakil rakyat.

Parpol yang mengungkapkan akan konsisten mengusung caleg eks napi korupsi terdiri dari, Partai Golkar, Partai Demokrat, dan Partai Gerindra.

Partai Pimpinan Prabowo Subianto Ajukan Caleg Mantan Koruptor Paling Banyak

Enam caleg hal yang demikian, terdiri dari tiga orang caleg DPRD Provinsi, dan tiga orang caleg DPRD Kabupaten Kota.

Tiga caleg mantan koruptor DPRD Provinsi itu antara lain:

1. Mohamad Taufik dari Dapil DKI 3

2. Herry Jones Kere dari Dapil Sulawesi Utara

3. Husen Kausaha dari Dapil Maluku Utara.

Sementara tiga caleg mantan koruptor lainnya dari DPRD Kabupaten/Kota yakni:

1. Alhajad Syahyan dari Dapil Tanggamus

2. Ferizal dari Dapil Belitung Timur

3. Mirhammuddin dari Dapil Belitung Timur.

Diajukannya enam caleg mantan koruptor dari Partai Gerindra menghasilkan partai pimpinan Prabowo Subianto itu sebagai partai politik peserta Pemilu 2019 yang paling banyak mengajukan caleg eks napi korupsi.

Sementara itu, berdasarkan data KPU, sempurna ada 38 caleg mantan koruptor.

Jumlah hal yang demikian terdiri dari 12 caleg DPRD Provinsi dan 26 caleg DPRD Kabupaten/Kota.

KPU baru saja mempertimbangkan 7.968 calon legislatif (caleg) DPR RI.

Jumlah hal yang demikian, terdiri dari 4774 caleg laki-laki dan 3.194 caleg perempuan.

Berbarengan dengan itu, KPU juga mempertimbangkan pasangan Joko Widodo-Ma\'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno sebagai pasangan calon presiden yang bersaing dalam Pemilu Presiden 2019. (Fitria Chusna Farisa)

Alasan konsisten usung caleg koruptor

Koordinator Komite Pemilih (Tepi) Jeirry Sumampouw memprediksi bahwa sebagian calon member legislatif ( caleg) mantan koruptor dipertahankan partai politik sebab bisa berperan sebagai \"magnet bunyi\".

\"Ada juga di antara mereka, orang-orang yang memang populer atau kemungkinan diterima masyarakat sehingga dapat menjadi vote getter,\" tutur Jeirry, Kamis (20/9/2018).

Karena itu ialah salah satu alasan yang melatarbelakangi partai politik untuk konsisten mengusung caleg mantan koruptor, meski parpol sudah menandatangani pakta integritas.

Jeirry menyuarakan, elemen kedua yang memengaruhi yaitu para caleg eks terpidana korupsi itu bisa mendonasi secara finansial terhadap partai.

\"Kedua, aku kaprah ada di antara mereka yang secara ekonomi bagus sehingga mungkin dapat menolong partai untuk menerima bunyi dalam pemilu nanti dengan kesanggupan ekonominya,\" ungkap ia.

Terakhir, dia mengevaluasi bahwa keputusan itu diambil partai demi mencegah perselisihan internal, karena sebagian dari mereka mengatur posisi penting dalam partai.

\"Jadi sekiranya ia pengurus, apalagi ketua partai di tingkat provinsi atau kabupaten memang jadi agak susah bagi partai untuk mengeluarkan orang ini,\" ujar Jeirry.

\"Mungkin memang meminimalisasi perselisihan di internal partai sebab tadi sebagian orang itu masuk sebagai pengurus partai,\" lanjutnya.

Kombinasi ketiganya membikin partai terkesan tak acuh pada harapan publik untuk mempunyai wakil rakyat yang bersih dari tindak korupsi.

\"Dia alesan di atas tadi sehingga ia menumbangkan, artinya partai tak terlalu peduli lagi, pokoknya masuk saja orang-orang ini nanti pertarungan akan terjadi di lapangan,\" tutur ia.

Oleh karena itu, publik perlu menghukum bagus caleg serta partai pengusungnya.

Menurut mengukur parpol hal yang demikian sudah gagal berkontribusi pada janji pemberantasan korupsi.

\"Jadi memang punishment itu juga patut diberi terhadap partai, tak cuma terhadap caleg, sebab janji partai kepada pemberantasan korupsi dan mendengar aspirasi masyarakat tak ada sama sekali,\" sebut Jeirry.

Koordinator Komite Pemilih (Tepi) Jeirry Sumampouw mengaku linglung atas alternatif partai politik yang konsisten mengusung mantan koruptor sebagai calon member legislatif (caleg) pada Pemiu 2019.

Arah ia, keputusan hal yang demikian bisa berimbas negatif pada perolehan bunyi partai.

\"Di kalangan masyarakat sipil, aku kaprah ada resistensi kepada eks koruptor.

Opini seperti ini telah kita lihat,\" kata Jeirry terhadap Semestinya.com, Kamis (20/9/2018).

\"Menurut ini memiliki efek elektoral negatif kepada partai, tapi kita juga agak keder mengapa partai tak memandang itu,\" lanjut ia.

Arah Jeirry, ada unsur mengambil profit dari keputusan partai konsisten mengusung caleg eks terpidana korupsi.

\"Mungkin bunyi, ada juga sebab ada orang-orang yang secara ekonomi kuat, trennya juga bagus,\" kata Jeirry.

Tertib lainnya, berdasarkan Jeirry, partai mungkin kuatir akan timbul perselisihan internal bila caleg mantan koruptor dicoret.

Putusan MA

Seperti dilansir sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) sudah memutus uji materi Pasal 4 Ayat (3) Lazim Komisi Pemilihan Member (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 seputar seputar Pencalonan Beberapa DPR dan DPRD Kabupaten/kota kepada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 perihal Pemilu (UU Pemilu) pada Kamis (13/9/2018) lalu.

Dalam putusannya, MA mengungkapkan bahwa larangan eks narapidana kasus korupsi menjadi calon member legislatif (caleg) bertentangan dengan UU Pemilu.

Putusan hal yang demikian berpengaruh pada berubahnya status tak memenuhi persyaratan (TMS) bakal caleg napi korupsi menjadi memenuhi prasyarat (MS).

Artinya, eks napi korupsi dibiarkan untuk maju sebagai caleg.

Namun parpol konsisten tak akan mengusung caleg mantan koruptor walaupun dibiarkan UU.

, ada pula parpol yang konsisten mencalonkan mereka sebagai calon wakil rakyat.

Parpol yang mengucapkan akan konsisten mengusung caleg eks napi korupsi terdiri dari, Partai Golkar, Partai Demokrat, dan Partai Gerindra.

Partai Pimpinan Prabowo Subianto Ajukan Caleg Mantan Koruptor Paling Banyak

Enam caleg hal yang demikian, terdiri dari tiga orang caleg DPRD Provinsi, dan tiga orang caleg DPRD Kabupaten Kota.

Tiga caleg mantan koruptor DPRD Provinsi itu antara lain:

1. Mohamad Taufik dari Dapil DKI 3

2. Herry Jones Kere dari Dapil Sulawesi Utara

3. Husen Kausaha dari Dapil Maluku Utara.

Sementara tiga caleg mantan koruptor lainnya dari DPRD Kabupaten/Kota merupakan:

1. Alhajad Syahyan dari Dapil Tanggamus

2. Ferizal dari Dapil Belitung Timur

3. Mirhammuddin dari Dapil Belitung Timur.

Diajukannya enam caleg mantan koruptor dari Partai Gerindra menciptakan partai pimpinan Prabowo Subianto itu sebagai partai politik peserta Pemilu 2019 yang paling banyak mengajukan caleg eks napi korupsi.

Sementara itu, berdasarkan data KPU, sempurna ada 38 caleg mantan koruptor.

Jumlah hal yang demikian terdiri dari 12 caleg DPRD Provinsi dan 26 caleg DPRD Kabupaten/Kota.

KPU baru saja memastikan 7.968 calon legislatif (caleg) DPR RI.

Jumlah hal yang demikian, terdiri dari 4774 caleg laki-laki dan 3.194 caleg perempuan.

Berbarengan dengan itu, KPU juga mempertimbangkan pasangan Joko Widodo-Ma\'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno sebagai pasangan calon presiden yang bersaing dalam Pemilu Presiden 2019. (Fitria Chusna Farisa)

Alasan konsisten usung caleg koruptor

Koordinator Komite Pemilih (Tepi) Jeirry Sumampouw memprediksi bahwa sebagian calon member legislatif ( caleg) mantan koruptor dipertahankan partai politik sebab bisa berperan sebagai \"magnet bunyi\".

\"Ada juga di antara mereka, orang-orang yang memang populer atau kemungkinan diterima masyarakat sehingga dapat menjadi vote getter,\" tutur Jeirry, Kamis (20/9/2018).

Karena itu yakni salah satu alasan yang melatarbelakangi partai politik untuk konsisten mengusung caleg mantan koruptor, walaupun parpol sudah menandatangani pakta integritas.

Jeirry menyatakan, elemen kedua yang memengaruhi merupakan para caleg eks terpidana korupsi itu bisa mendonasi secara finansial terhadap partai.

\"Kedua, aku kaprah ada di antara mereka yang secara ekonomi bagus sehingga mungkin dapat menolong partai untuk menerima bunyi dalam pemilu nanti dengan kecakapan ekonominya,\" ungkap ia.

Terakhir, dia mengevaluasi bahwa keputusan itu diambil partai demi mencegah perselisihan internal, karena sebagian dari mereka mengendalikan posisi penting dalam partai.

\"Jadi jika ia pengurus, apalagi ketua partai di tingkat provinsi atau kabupaten memang jadi agak susah bagi partai untuk mengeluarkan orang ini,\" ujar Jeirry.

\"Mungkin memang meminimalisasi perselisihan di internal partai sebab tadi sebagian orang itu masuk sebagai pengurus partai,\" lanjutnya.

Kombinasi ketiganya membikin partai terkesan tak acuh pada harapan publik untuk mempunyai wakil rakyat yang bersih dari tindak korupsi.

\"Dia alesan di atas tadi sehingga ia menaklukkan, artinya partai tak terlalu peduli lagi, pokoknya masuk saja orang-orang ini nanti pertarungan akan terjadi di lapangan,\" tutur ia.

Oleh karena itu, publik perlu menghukum bagus caleg serta partai pengusungnya.

Berdasarkan mengukur parpol hal yang demikian sudah gagal berkontribusi pada janji pemberantasan korupsi.

\"Jadi memang punishment itu juga sepatutnya dikasih terhadap partai, tak cuma terhadap caleg, sebab janji partai kepada pemberantasan korupsi dan mendengar aspirasi masyarakat tak ada sama sekali,\" sebut Jeirry.

Koordinator Komite Pemilih (Tepi) Jeirry Sumampouw mengaku kebingungan atas alternatif partai politik yang konsisten mengusung mantan koruptor sebagai calon member legislatif (caleg) pada Pemiu 2019.

Penunjuk ia, keputusan hal yang demikian bisa berakibat negatif pada perolehan bunyi partai.

\"Di kalangan masyarakat sipil, aku kaprah ada resistensi kepada eks koruptor.

Opini seperti ini telah kita lihat,\" kata Jeirry terhadap Seharusnya.com, Kamis (20/9/2018).

\"Menurut ini memiliki efek elektoral negatif kepada partai, namun kita juga agak keder mengapa partai tak mengamati itu,\" lanjut ia.

Alat Jeirry, ada elemen mengambil profit dari keputusan partai konsisten mengusung caleg eks terpidana korupsi.

\"Mungkin bunyi, ada juga sebab ada orang-orang yang secara ekonomi kuat, trennya juga bagus,\" kata Jeirry.

Tata lainnya, berdasarkan Jeirry, partai mungkin kuatir akan timbul perselisihan internal apabila caleg mantan koruptor dicoret.

Putusan MA

Seperti dikabarkan sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) sudah memutus uji materi Pasal 4 Ayat (3) Awam Komisi Pemilihan Member (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 seputar seputar Pencalonan Sebagian DPR dan DPRD Kabupaten/kota kepada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 seputar Pemilu (UU Pemilu) pada Kamis (13/9/2018) lalu.

Dalam putusannya, MA menyuarakan bahwa larangan eks narapidana kasus korupsi menjadi calon member legislatif (caleg) bertentangan dengan UU Pemilu.

Putusan hal yang demikian berpengaruh pada berubahnya status tak memenuhi persyaratan (TMS) bakal caleg napi korupsi menjadi memenuhi persyaratan (MS).

Artinya, eks napi korupsi dibiarkan untuk maju sebagai caleg.

Melainkan parpol konsisten tak akan mengusung caleg mantan koruptor meskipun diperbolehkan UU.

, ada pula parpol yang konsisten mencalonkan mereka sebagai calon wakil rakyat.

Parpol yang mengucapkan akan konsisten mengusung caleg eks napi korupsi terdiri dari, Partai Golkar, Partai Demokrat, dan Partai Gerindra.

Partai Pimpinan Prabowo Subianto Ajukan Caleg Mantan Koruptor Paling Banyak

Enam caleg hal yang demikian, terdiri dari tiga orang caleg DPRD Provinsi, dan tiga orang caleg DPRD Kabupaten Kota.

Tiga caleg mantan koruptor DPRD Provinsi itu antara lain:

1. Mohamad Taufik dari Dapil DKI 3

2. Herry Jones Kere dari Dapil Sulawesi Utara

3. Husen Kausaha dari Dapil Maluku Utara.

Sementara tiga caleg mantan koruptor lainnya dari DPRD Kabupaten/Kota ialah:

1. Alhajad Syahyan dari Dapil Tanggamus

2. Ferizal dari Dapil Belitung Timur

3. Mirhammuddin dari Dapil Belitung Timur.

Diajukannya enam caleg mantan koruptor dari Partai Gerindra menciptakan partai pimpinan Prabowo Subianto itu sebagai partai politik peserta Pemilu 2019 yang paling banyak mengajukan caleg eks napi korupsi.

Sementara itu, berdasarkan data KPU, sempurna ada 38 caleg mantan koruptor.

Jumlah hal yang demikian terdiri dari 12 caleg DPRD Provinsi dan 26 caleg DPRD Kabupaten/Kota.

KPU baru saja memutuskan 7.968 calon legislatif (caleg) DPR RI.

Jumlah hal yang demikian, terdiri dari 4774 caleg laki-laki dan 3.194 caleg perempuan.

Beriringan dengan itu, KPU juga memastikan pasangan Joko Widodo-Ma\'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno sebagai pasangan calon presiden yang bersaing dalam Pemilu Presiden 2019. (Fitria Chusna Farisa)

Alasan konsisten usung caleg koruptor

Koordinator Komite Pemilih (Tepi) Jeirry Sumampouw memprediksi bahwa sebagian calon member legislatif ( caleg) mantan koruptor dipertahankan partai politik sebab bisa berperan sebagai \"magnet bunyi\".

\"Ada juga di antara mereka, orang-orang yang memang populer atau kemungkinan diterima masyarakat sehingga dapat menjadi vote getter,\" tutur Jeirry, Kamis (20/9/2018).

Karena itu yaitu salah satu alasan yang melatarbelakangi partai politik untuk konsisten mengusung caleg mantan koruptor, walaupun parpol sudah menandatangani pakta integritas.

Jeirry mengucapkan, unsur kedua yang memengaruhi yaitu para caleg eks terpidana korupsi itu bisa mendonasi secara finansial terhadap partai.

\"Kedua, aku kaprah ada di antara mereka yang secara ekonomi bagus sehingga mungkin dapat menolong partai untuk menerima bunyi dalam pemilu nanti dengan kecakapan ekonominya,\" ungkap ia.

Terakhir, dia mengevaluasi bahwa keputusan itu diambil partai demi mencegah perselisihan internal, karena sebagian dari mereka mengendalikan posisi penting dalam partai.

\"Jadi bila ia pengurus, apalagi ketua partai di tingkat provinsi atau kabupaten memang jadi agak susah bagi partai untuk mengeluarkan orang ini,\" ujar Jeirry.

\"Mungkin memang meminimalisasi perselisihan di internal partai sebab tadi sebagian orang itu masuk sebagai pengurus partai,\" lanjutnya.

Kombinasi ketiganya membikin partai terkesan tak acuh pada harapan publik untuk mempunyai wakil rakyat yang bersih dari tindak korupsi.

\"Ia alesan di atas tadi sehingga ia menumbangkan, artinya partai tak terlalu peduli lagi, pokoknya masuk saja orang-orang ini nanti pertarungan akan terjadi di lapangan,\" tutur ia.

Oleh karena itu, publik perlu menghukum bagus caleg serta partai pengusungnya.

Menurut mengukur parpol hal yang demikian sudah gagal berkontribusi pada janji pemberantasan korupsi.

\"Jadi memang punishment itu juga mesti diberi terhadap partai, tak cuma terhadap caleg, sebab janji partai kepada pemberantasan korupsi dan mendengar aspirasi masyarakat tak ada sama sekali,\" sebut Jeirry.

Koordinator Komite Pemilih (Tepi) Jeirry Sumampouw mengaku kebingungan atas opsi partai politik yang konsisten mengusung mantan koruptor sebagai calon member legislatif (caleg) pada Pemiu 2019.

Arah ia, keputusan hal yang demikian bisa berpengaruh negatif pada perolehan bunyi partai.

\"Di kalangan masyarakat sipil, aku kaprah ada resistensi kepada eks koruptor.

Opini seperti ini telah kita lihat,\" kata Jeirry terhadap Harus.com, Kamis (20/9/2018).

\"Berdasarkan ini memiliki efek elektoral negatif kepada partai, melainkan kita juga agak keder mengapa partai tak memandang itu,\" lanjut ia.

Alat Jeirry, ada unsur mengambil profit dari keputusan partai konsisten mengusung caleg eks terpidana korupsi.

\"Mungkin bunyi, ada juga sebab ada orang-orang yang secara ekonomi kuat, trennya juga bagus,\" kata Jeirry.

Regulasi lainnya, berdasarkan Jeirry, partai mungkin cemas akan timbul perselisihan internal kalau caleg mantan koruptor dicoret.

Putusan MA

Seperti dikabarkan sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) sudah memutus uji materi Pasal 4 Ayat (3) Lazim Komisi Pemilihan Member (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 seputar perihal Pencalonan Sebagian DPR dan DPRD Kabupaten/kota kepada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 seputar Pemilu (UU Pemilu) pada Kamis (13/9/2018) lalu.

Dalam putusannya, MA mengungkapkan bahwa larangan eks narapidana kasus korupsi menjadi calon member legislatif (caleg) bertentangan dengan UU Pemilu.

Putusan hal yang demikian berdampak pada berubahnya status tak memenuhi persyaratan (TMS) bakal caleg napi korupsi menjadi memenuhi persyaratan (MS).

Artinya, eks napi korupsi dibolehkan untuk maju sebagai caleg.

Tapi parpol konsisten tak akan mengusung caleg mantan koruptor meskipun dibolehkan UU.

, ada pula parpol yang konsisten mencalonkan mereka sebagai calon wakil rakyat.

Parpol yang mengungkapkan akan konsisten mengusung caleg eks napi korupsi terdiri dari, Partai Golkar, Partai Demokrat, dan Partai Gerindra.